Praktik Kawin Tangkap Mengatasnamakan Budaya Diharap tak Terjadi Lagi di Indonesia

Estimated read time 2 min read

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Salah satunya adalah praktik perkawinan tawanan atas nama budaya di Kabupaten Sumba Barat. 

KemenPPPA mengapresiasi inisiasi kesepakatan bersama dengan para tokoh adat Sumba Tengah untuk menghentikan praktik budaya kawin tawang. “Kesepakatan ini menjadi bukti keseriusan semua pihak mulai dari pemerintah daerah, lembaga masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat dalam mengakhiri kawin paksa atas nama budaya,” kata Wakil Menteri Hak Perempuan PPPA. kementerian. Ratna Susianawati dalam keterangan pers, Selasa (14/5/2024).  

Upaya perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan diperkuat dengan disahkannya UU No. 12 Tahun 2022 tentang pidana kekerasan seksual (TPKS). UU TPKS menyebutkan kawin paksa merupakan salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Ratna menilai kesepakatan bersama ini merupakan tindak lanjut positif dari penandatanganan Nota Kesepahaman pada tahun 2020 antara empat bupati di Provinsi Sumba. 

“Hal ini perlu kita lihat bersama-sama agar semua pihak dapat terlibat dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan, khususnya pernikahan di penjara yang masih marak terjadi,” kata Ratna.

Ratna mendukung pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPA) di tingkat provinsi dan kabupaten sejalan dengan amanat UU TPKS. Dengan terbentuknya UPTD PPA, diharapkan korban kekerasan dapat memperoleh layanan yang cepat, akurat dan komprehensif sesuai kebutuhannya.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan pernikahan yang berawal dari kekerasan berdampak tidak sehat terhadap keberlangsungan keluarga. Oleh karena itu, upaya transformasi budaya dan mentalitas yang dilakukan di Sumba Tengah patut diapresiasi dan terus didukung oleh semua pihak. 

Komnas Perempuan melakukan analisis terkait pernikahan yang ditangkap. Nantinya, melalui musyawarah bersama akan dikeluarkan rekomendasi umum mengenai penanganan penangkapan dan kawin paksa yang dapat menjadi acuan bagi petugas kepolisian (APH) dan pendampingnya. 

“Mudah-mudahan persoalan pernikahan di penangkaran ini tidak berlanjut di kemudian hari, karena menimbulkan trauma tersendiri bagi korban perempuan maupun laki-laki yang ikut membangun keluarga dan berdampak pada kehidupan dalam jangka panjang,” kata Andy.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours