President University Kukuhkan 1 Guru Besar Baru, Kini Miliki 9 Profesor

Estimated read time 5 min read

BEKASI – Rektor Universitas (Presuniv) melantik guru besar baru, Prof. Dr. Retnowati, S.Th., M.Si. Profesor Retno memberikan sambutan dengan topik masyarakat digital, perubahan perilaku dan empati terhadap kemanusiaan: pendekatan antropologi.

Presiden Yayasan Universitas Kepresidenan (YPUP) Prof. Dr. Tn. Budi Susilo Soepandji menyampaikan tiga keinginan terkait acara pengukuhan guru besar tersebut. Retno. Pertama, inisiatif ini diharapkan dapat terus memperkuat nilai pendidikan dan kebudayaan di Presuniv.

Kedua, Presuniv diasumsikan dapat memanfaatkan semua peluang yang dimiliki oleh ilmu profesor. Retno. “Satu hal adalah bertanya pada Prof. “Retno dengan senang hati bisa menjadi mentor bagi mahasiswa Magister, bahkan mahasiswa PhD di masa depan,” kata sang profesor. Budi Susilo, melalui siaran pers, Sabtu (8/6/2024).

Baca Juga: Pendaftaran Rektor Perguruan Tinggi Resmi Dimulai, Ini Keuntungannya

Ketiga, upacara peresmian Prof. Retno sebagai guru besar diharapkan terus mengembangkan kemampuan penelitian dan penerbitannya. Selain itu, Prof Retno pernah menjadi Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat di Presuniv, kata Prof Budi.

Prakiraan saat ini dan masa depan

Sementara itu, dalam sambutannya selaku Ketua Senat Presuniv Handa S. Abidin menyampaikan bahwa Prof. Retno merupakan guru besar ke-3 yang dikukuhkan Presuniv.

Guru besar sebelumnya yang dikukuhkan oleh Presuniv adalah Prof. Dr. Jony Oktavian Haryanto, saat ini menjabat sebagai Sekretaris YPUP dan Profesi Statistika, Menteri Pendidikan, Menteri Pendidikan, Riset dan Kebudayaan serta Guru Besar. Dr. Presiden, Wakil Presiden Integrasi Presuniv. “Dengan penobatan Prof. Retno yang berpusat di Presuniv sudah memiliki sembilan guru besar yang tersebar di lima disiplin ilmu,” kata Handa.

Namun, lanjutnya, sembilan guru besar yang dimiliki Presuniv sebenarnya masih terlalu sedikit. Oleh karena itu di Presuniv kami terus mendorong seluruh guru kami untuk segera menjadi guru besar, kata Handa.

Baca juga: Charles Saerang presentasikan kolaborasi PresUniv dengan American East-West Center

Beliau berkata lagi: “Bagi kami, kesuksesan Prof. Retno menjadi guru besar bukan hanya keberhasilannya, tapi juga keberhasilan Presuniv. Tidak hanya Prof. Retno dan keluarga bahagia dan bangga, begitu pula Presuniv. “

Dalam pidato pembukaannya, Prof. Retno mengatakan di era digital seperti sekarang, analisis antropologi sangat diperlukan untuk memprediksi kondisi sosial masyarakat. “Ini semua tentang masa kini dan masa depan, dan ini tentang kehidupan sehari-hari,” katanya.

Menurut Prof. Retno, di masyarakat terjadi kesalahpahaman terhadap pengetahuan manusia. “Antropologi dianggap sebagai studi tentang sekelompok orang yang jauh, sederhana, dan terisolasi baik secara ekonomi maupun teknologi. Misalnya suku Aborigin di Australia, suku Indian di Amerika, dan berbagai suku lain di Indonesia, Afrika, atau negara lain, ujarnya.

Kesalahpahaman seperti ini, lanjutnya, membuat ilmu pengetahuan manusia seolah tersingkir dari kehidupan modern.

“Di era globalisasi ini, makna komunitas yang berjauhan harus dipertimbangkan kembali. “Sekarang di era digital dan internet, segala sesuatu bisa didapatkan dengan mudah dan murah,” ujarnya.

Etnografi hingga sibernetika

Menurut Prof. Selain itu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah pola komunikasi sehari-hari masyarakat, pola berpikir, pola kerja dan perilaku masyarakat. “Dulu komunikasi hanya dilakukan secara tatap muka, sekarang masyarakat lebih nyaman, efisien dan berkomunikasi dalam ruang,” ujarnya.

Baca Juga: Ceramah Dubes Iran di Presuniv, Ungkap Sejarah Hubungan Kedua Negara

Kondisi ini memerlukan perubahan dalam cara penelitian dilakukan.

“Dulu penelitian antropologi dilakukan dengan pendekatan etnografi. “Penelitian jenis ini mengharuskan peneliti untuk datang dan tinggal bersama komunitas yang mereka pelajari selama jangka waktu tertentu,” kata profesor tersebut. Retno.

Dengan perkembangan transformasional teknologi informasi dan komunikasi, bidang akademik pun menjadi digital. Dia berkata: “Saat ini, media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Jadi apa yang terjadi di media sosial bisa menjadi data penelitian untuk analisa manusia.”

Dalam pernyataan Prof. Retno mengatakan, dari 281,7 juta penduduk Indonesia, 185,3 juta atau 66% diantaranya merupakan pengguna internet. Setelah itu, sekitar 139 juta atau 49% total penduduk Indonesia terdaftar sebagai pengguna media sosial. Oleh karena itu, lanjutnya, penelitian antropologi perlu beralih dari yang awalnya menggunakan metode etnografi ke sibernetika.

“Netnografi adalah gambaran singkat tentang jaringan dan ilmu sosial. “Metode ini bisa digunakan untuk mendeteksi kehidupan di luar angkasa dan digunakan sebagai alat penelitian,” ujarnya.

Pada saat yang sama, internet yang murah, cepat dan mudah telah merevolusi media sosial. “Setiap orang bebas mengakses dan memberikan informasi. Sayangnya, banjir informasi ini tidak diimbangi dengan kekuatan kritis pengguna media sosial. Makanya ruang publik jadi riuh. Beda pendapat, ide-ide berbeda dan beragam mengalir tanpa filter dan seleksi,” ujarnya. dikatakan.

Prof. Retno mencatat, setidaknya ada 10 platform media sosial yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia. 92,1% pengguna menggunakan WhatsApp, diikuti oleh Instagram (86,5%), Facebook (83,5%), Tiktok (73,5%), Telegram (64,3%), X (57,5%), Facebook Messenger (44,9%), Pinterest (34% ), Kuai-shou (32,4%) dan LinkedIn (25%).

Melihat kondisi tersebut, menurut Prof. Retno, menarik membahas keadaan budaya Indonesia yang diselenggarakan media sosial dengan berbagai informasi yang sengaja disebarkan. “Menarik untuk mengkaji struktur media sosial yang berkembang tidak hanya mewakili pengetahuan yang mendidik masyarakat, namun justru mendisrupsi realitas sosial,” ujarnya.

Media sosial harus dimanfaatkan untuk membantu memecahkan masalah, sehingga masyarakat bisa kreatif dan produktif, menurut sang profesor. Retno sebenarnya sudah banyak digunakan. Misalnya, banyak penipuan atau penipuan perbankan online yang dikirim melalui WhatsApp; Hoax atau cyberbullying dilakukan melalui Instagram; Distribusi video pornografi atau menyinggung terjadi melalui TikTok; dan banyak kali lainnya.

Oleh karena itu, ketika masyarakat memasuki era Society 5.0, Prof. Retno, teknologi termasuk media sosial harus dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan membantu masyarakat memecahkan berbagai permasalahan.

“Jadi tidak digunakan untuk menghancurkan harkat dan martabat manusia,” ujarnya. Memang benar, teknologi harus menambah dan meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan.

Saat ini, Prof. Onno menekankan pentingnya dua kata kunci yang Prof. Retno dalam pidato sumpah serapahnya. “Dua kata kuncinya adalah perilaku dan prediktabilitas,” ujarnya.

Di era digital seperti sekarang, apalagi dengan adanya media sosial, menurut Prof. Onno, perilaku masyarakat di masa depan harus diprediksi dari data. “Tanpa dugaan, tanpa rencana lagi,” katanya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours