Refleksi Kemerdekaan, Asrorun Ni’am Soroti Relasi Politik dan Kehidupan Sehari-hari

Estimated read time 3 min read

JAKARTA – Deputi Pemberdayaan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpura), Asroron Nim Shalom menjelaskan keterkaitan politik dalam seluruh aspek kehidupan. Menurutnya, politik adalah bagian dari denyut kehidupan masyarakat sehari-hari.

Politik tidak bisa disederhanakan hanya sekedar urusan kepartaian dan politik praktis, namun komitmen untuk mencapai kemerdekaan juga tidak bisa dipisahkan dari urusan politik.

“Bahkan ketika belajar memilih kampus yang tepat, tidak lepas dari politik,” ujarnya, Bincang Politik (NGOPI) bekerja sama dengan MUI TV di Kemenpora Friends Club, Ruang Teater Wisma Kemenpora, Jakarta, Kamis (15/8). /2024).

Misalnya, kebijakan penetapan biaya pendidikan tunggal (UKT) tidak hanya didasarkan pada kekuatan ekonomi, namun dipengaruhi oleh kebijakan pendidikan. Dengan demikian, ilmu pengetahuan terkait politik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan setiap individu untuk mencapai salah satu tugas pokoknya, sebagai makhluk sosial.

Guru Besar UIN Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan, dalam rangka HUT ke-79 berdirinya Republik Indonesia ini, terdapat perjalanan reflektif kesejahteraan dan perjalanan prediktif menuju masa depan. Dalam buku “Dinamika Ideologi Setelah Kemerdekaan Indonesia” karya Kemenpora Ngobe, Profesor Nim mengatakan bahwa pada saat itu dinamika ideologi terjadi setelah apa yang disebut dengan proses konsolidasi, proses demokratisasi, dan konsolidasi ideologi pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia.

“Para pendiri bangsa berkumpul untuk saling berdiskusi, bertukar pikiran, dan membangun konsensus. Konsensus dalam kehidupan berbangsa dan kehidupan berpemerintahan kita menjadikan Pancasila sebagai landasannya. UUD 1945 menjadi landasan konstitusional,” ujarnya.

Namun ketika itu menjadi produk politik yang dinamis. Katanya, karena fakta sejarah menunjukkan Indonesia pernah menjadi negara federal. Dia menjelaskan, “Kita tidak bisa menutup-nutupi fakta sejarah. (Fakta sejarah lainnya), ada perubahan dalam konstitusi kita.”

Diantaranya adalah perubahan UUD 1945 yang disusun setelah Proklamasi Kemerdekaan, dan kemudian UUD Negara Republik Indonesia Serikat. “Kemudian hingga keluarnya Ketetapan tahun 1959, terjadi reformasi terus-menerus, dan ada komitmen politik untuk melakukan amandemen konstitusi. Ini adalah fakta sejarah tantangan zaman.” Dia berkata.

Selain itu, Ketua Majelis Ulama Fatwa ini juga menyampaikan tentang makna Pancasila dalam berbangsa dan bernegara. Menurutnya, operasionalnya tidak lepas dari opini subjektif dan dinamika masyarakat yang terus berkembang.

“Jadi kita bisa mempertimbangkan kembali, kita bisa atur konteksnya, sehingga kita bertemu di titik tengahnya. Dan ini menjadi konsensus kita secara nasional,” jelas Pengurus Pondok Pesantren Renaissance di Depok, Jawa Barat itu.

Profesor Yes menjelaskan, konsensus tersebut tidak lepas dari norma dan nilai agama yang hidup di masyarakat. Selain itu, nilai-nilai kesopanan yang dihayati dan dipelihara masyarakat juga menjadi bagian integral dalam memahami dan menerapkan standar ideologi Pancasila dalam beraktivitas sehari-hari.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, pakar komunikasi politik UIN Jakarta, John John Heryanto, mengatakan politik tidak boleh dianggap di luar jangkauan kita. Menurutnya, banyak hal yang perlu dipahami, digali, dipikirkan bahkan menjadi partisipan aktif dalam banyak hal di bidang politik.

Terkait Pancasila, Dekan Fakultas Advokasi dan Komunikasi Universitas Negeri Jakarta ini memaknainya dalam perspektif komunikasi politik sebagai simbolisme serupa. Ia menjelaskan, simbolisme konvergen merupakan istilah yang dikemukakan oleh Erntz Bormen, seorang psikolog sosial.

Yang penting simbolisme konvergen bukan sekedar penyatuan simbol. Tapi semacam kesadaran bersama, kata Jun Jun yang juga Wakil Ketua Komite Informasi dan Komunikasi MUI (Infocom).

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours