Rupiah Tembus Rp16.420 per USD, Bos BI Ungkap Apa yang Terjadi

Estimated read time 3 min read

JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warzio buka-bukaan soal tren pelemahan rupiah yang terjadi belakangan ini. Sebagai informasi, saat artikel ini ditulis, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) mencapai Rp 16.454 per USD.

“Rupee (nilai tukar) sudah pasti merupakan nilai relatif antara satu mata uang dengan mata uang lainnya. Yang terjadi saat ini pergerakan nilai tukar dipengaruhi oleh faktor fundamental dan teknikal, faktor jangka pendek, dan bulan demi bulan selalu demikian. begini,” kata Perry dalam konferensi pers pengumuman hasil rapat RDG BI Juni 2024 di Jakarta, Kamis (20/6/2024).

Dua bulan lalu, BI sebelumnya memperkirakan Fed Funds Rate (FFR) akan turun pada akhir tahun ini, menurunkan baseline sebesar 25 bps (basis poin), katanya. Namun di saat yang sama, BI juga telah memperkirakan potensi risiko jika FFR tidak turun pada tahun ini.

“Saat itu yang terjadi adalah tensi geopolitik yang meningkatkan risk premium. Jadi, nilai tukar rupee, saya ulangi, dipengaruhi oleh fundamental,” lanjut Perry.

Faktor fundamental yang dimaksud adalah selisih inflasi dalam dan luar negeri, pertumbuhan ekonomi dalam dan luar negeri, selisih suku bunga dalam dan luar negeri yang disebut dengan imbal hasil (yield), dan defisit transaksi berjalan.

“Sampai saat ini kami yakin kalau melihat fundamental kami (nilai tukar Rupee) bisa turun di bawah Rp 16.000. Inflasi kita lebih rendah 2,8% dibandingkan Amerika Serikat (AS) yang tinggi dan negara lain tinggi,” kata Perry

Kedua, kata Perry, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1% juga tergolong baik. Demikian pula dengan transaksi berjalan yang masih surplus dengan defisit tahun ini kurang dari 0,1-0,9% PDB. Pengembaliannya juga menarik.

“Tetapi ini adalah faktor fundamental yang akan mempengaruhi tren tersebut, sehingga kami masih yakin tren nilai tukar rupee ke depan akan kuat dengan kemungkinan FFR naik di akhir tahun ini juga akan menurun, inflasi rendah, relatif baik pertumbuhan ekonomi NKRI serta transaksi berjalan yang baik dan hasil yang menarik,” jelasnya.

Perry menjelaskan, secara bulanan, faktor emosional seperti premi risiko, ketidakpastian, merupakan faktor yang tidak mempengaruhi tren, namun mempengaruhi naik turunnya nilai tukar.

“Seperti prediksi 2 bulan lalu, jika tidak ada tensi geopolitik dan ketidakpastian FFR, maka kita tidak perlu menaikkan BI rate, padahal saat itu saya bilang masih ada ruang untuk penurunan BI rate,” kata Perry.

Saat itu, Perry mengatakan pihaknya bersabar karena masih ada ketidakpastian di pasar keuangan global, sehingga pada hari kedua BI menaikkan BI rate sebesar 25 bps dan SRBI menaikkan suku bunga.

“Apa yang terjadi? Yield kita naik, SRBI kembali, yaitu SRBI bulan Mei Rp 80,29 triliun, lalu bulan Juni Rp 17,83 triliun, itu data transaksinya,” tutup Perry.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours