Seaplane: Solusi Mengatasi Keterbatasan Transportasi Darat dan Laut di Indonesia

Estimated read time 4 min read

JAKARTA – Beroperasinya pesawat amfibi di pelabuhan yang ke depan berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (DJPL) membuka peluang baru di bidang transportasi dan pariwisata di Indonesia.

“Pesawat amfibi, pesawat air yang dapat lepas landas dan mendarat di permukaan air, menawarkan solusi transportasi yang unik dan efisien, terutama untuk daerah terpencil yang sulit dijangkau baik darat maupun laut,” kata pengamat kelautan dari IKAL Strategis. Center (ISC) Kapten Marcellus Hakeng Jayawibawa di Jakarta pada Jumat (21 Juni 2024).

Namun, dia menegaskan, pelaksanaan layanan udara ini perlu kehati-hatian agar tidak terjadi konflik yurisdiksi dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJPU).

“Ini memerlukan kerja sama yang erat antara DJPL dan DJPU. “Ada kebutuhan akan kerangka peraturan yang jelas, serta pelatihan yang memadai dan persiapan infrastruktur, yang merupakan kunci untuk memastikan operasi yang aman dan efisien,” kata Hakeng.

Perbedaan tanggung jawab antara DJPL dan DJPU dapat menimbulkan konflik kewenangan. DJPL bertanggung jawab atas administrasi kepelabuhanan dan pelayaran, sedangkan DJPU mengawasi penerbangan sipil dan operasional bandar udara.

Oleh karena itu, ketika pesawat amfibi mulai beroperasi di pelabuhan yang dikelola DJPL, DJPU dapat mempertimbangkan hal tersebut sebagai bagian dari regulasi penerbangan, ujarnya.

Oleh karena itu penting bagi kita untuk memiliki kerangka peraturan yang jelas yang mendefinisikan batas-batas wewenang untuk mengelola operasi pesawat masing-masing lini. Peraturan ini harus mencakup aspek keselamatan, metode pengoperasian dan tanggung jawab pengawasan.

Komandan Jaringan Organisasi dan Sebaran Pimpinan Umum Pemuda Katolik ini juga mengingatkan, langkah strategis tersebut dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya tumpang tindih kekuasaan antara DJPL dan DJPU.

Kerjasama yang erat, kerangka peraturan yang jelas, dan pelatihan yang memadai serta persiapan infrastruktur memastikan bahwa manfaat ekonomi dan sosial dari layanan pesawat terbang dapat dimaksimalkan tanpa mengorbankan keselamatan dan efisiensi operasional.

“Pelayanan perahu yang sukses tidak hanya akan meningkatkan konektivitas dan aksesibilitas daerah terpencil, namun akan memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan pariwisata dan perekonomian di Indonesia,” ujarnya.

Menurut dia, bandara darat dan perairan memiliki karakteristik yang sangat berbeda baik dari segi struktur maupun fasilitas pendukungnya. “Landasan pacu di bandara domestik dibangun dengan material keras seperti aspal atau beton dan dirancang untuk menopang bobot pesawat serta memberikan permukaan yang stabil dan rata,” kata Hakeng.

Bandara air, sebaliknya, menggunakan air dengan sifat fisik yang berbeda, termasuk dinamika gelombang, pasang surut, dan fluktuasi ketinggian air, sebagai luas permukaan yang dapat digunakan. “Untuk itu diperlukan desain pelampung atau badan pesawat yang berbeda agar dapat beroperasi dengan aman di permukaan air,” jelasnya.

Selain perbedaan struktur landasan pacu, fasilitas pendukung juga sangat berbeda antara bandara darat dan laut. Bandara domestik biasanya memiliki taxiway, peron, aula, dan terminal penumpang. Pada saat yang sama, pelabuhan membutuhkan lebih banyak pelabuhan atau dermaga, fasilitas tambatan dan penanganan khusus untuk operasi pemeliharaan pesawat di perairan.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa standar desain dan konstruksi yang digunakan di bandara darat tidak dapat langsung diterapkan di bandara perairan tanpa modifikasi yang sesuai, kata Hakeng.

Meskipun terdapat perbedaan signifikan dalam desain dan pengoperasian, namun salah satu kriteria dasar sertifikasi adalah semua bandara, baik darat maupun laut, harus memiliki Sistem Manajemen Keselamatan (SMS) yang sesuai. “SMS mencakup kebijakan keamanan, manajemen risiko, dan jaminan keamanan,” ujarnya.

Penerapan sistem manajemen keselamatan yang konsisten dan komprehensif sangat penting untuk menjamin keselamatan operasional di kedua bandara. Kebijakan keselamatan harus menetapkan standar yang harus diikuti, dan manajemen risiko melibatkan identifikasi dan mitigasi risiko yang terkait dengan operasi spesifik setiap jenis bandara.

Penerapan SMS di bandara darat mencakup pengelolaan risiko terkait operasional darat, seperti tabrakan pesawat dan kondisi landasan. Di sisi lain, penerapan SMS di perairan harus mengidentifikasi dan memitigasi risiko terkait aktivitas perairan, seperti kondisi cuaca ekstrem, dinamika gelombang, dan interaksi dengan pelayaran.

“Oleh karena itu, perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penerapan kebijakan keselamatan khususnya lingkungan perairan, serta pelatihan dan pendidikan personel mengenai keselamatan operasi perairan, termasuk penanganan situasi darurat di perairan,” ujarnya. dikatakan.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours