Soal Rencana Integrasi BUMN Karya, Pengamat Wanti-wanti Kepercayaan Investor

Estimated read time 3 min read

JAKARTA – Pemerintah menggabungkan tujuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau BUMN Karya di bidang industri konstruksi menjadi tiga kelompok perusahaan. Rencana integrasi ini logis dari sudut pandang bisnis. Integrasi ini seharusnya tidak hanya menyelesaikan masalah saat ini namun harus bersifat jangka panjang.

“Benarkah harus terintegrasi. Kenapa?” ​​kata Herry Gunawan, Analis BUMN di Datanesia Research Institute.

Rencana konsolidasi yang dicanangkan pemerintah antara lain menggabungkan PT Adhi Karya (Persero) Tbk dengan PT Brantas Abipraya (Persero) dan PT Nindya Karya (Persero). Ketiga perusahaan besar tersebut akan bergabung dan fokus pada proyek pemeliharaan air, perkeretaapian dan bidang lainnya.

Selain itu, PT Hutama Karya (Persero) dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Kombinasi keduanya diharapkan dapat meningkatkan fokus perusahaan pada jalan tol, jalan tol, dan proyek pengembangan institusi.

Sedangkan opsi ketiga adalah integrasi antara PT PP (Persero) Tbk dengan PT Vijaya Karya (Persero) Tbk. Integrasi ini akan fokus pada operasi di pelabuhan, bandara, teknik, pengadaan dan konstruksi (EPC) dan sektor perumahan.

Herry menilai langkah pemerintah yang memasukkan perusahaan BUMN sebagai pemegang saham harus mempertimbangkan kepentingan investor publik, kreditor, dan negara. Herry mengatakan rencana Adhi Karya, Brantas Abipraya, dan Nindya Karya untuk membentuk tim integrasi harus dipertimbangkan secara matang untuk mengidentifikasi perusahaan sebagai pemimpin integrasi.

Pertimbangan ini mempertimbangkan tanggapan kreditur dan pemegang saham terhadap reputasi, kredibilitas dan kepercayaan. Menurut Harry, siapa yang kenal Abhipragya dan Nindya?

“Tetapi masyarakat sudah mengenal ADHI dan terdaftar sebagai perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia,” ujarnya.

ADHI juga kalah dibandingkan Abipraya dan Nindya. Nindya dicopot dari jabatan kepemimpinannya karena status PPA-nya tetap “sabar”. Sementara ADHI dan Abiprayan jika dibandingkan, kekayaan Abiprayan kurang lebih Rp 8 triliun, sedangkan kekayaan ADHI kurang lebih Rp 40 triliun.

Dari segi nilai proyek yang dikerjakan, ADHI mengelola proyek yang bernilai lebih tinggi. Selain itu, ADHI lebih beragam di seluruh wilayah proyek. Oleh karena itu, menurut Harry, pengalaman dan pemahaman ADHI lebih besar dibandingkan Abiprayana.

Di mata Harry, ADHI terbiasa menyelesaikan permasalahan yang lebih kompleks dan menjadi lebih tangguh dalam menghadapi tantangan. Di sisi lain, karena Abipraya mengerjakan proyek kecil, risikonya juga minimal.

Misalnya, yang satu membuat sepeda dan yang lain merawat mobil. Jadi, jika saya seorang investor atau pemegang saham kaya, apakah saya ingin menaruh uang saya pada seseorang yang merawat sepeda atau mobil?

Apalagi ADHI sebagai perusahaan publik memiliki laporan tahunan yang sangat kompleks. Hal ini berlaku pada peraturan OJK yang mengedepankan transparansi dan tata kelola (GCG). Sedangkan Abipraya hanya perlu menyikapi satu indikator saat menyampaikan laporan tahunannya, yaitu Kementerian BUMN.

Sebagai perusahaan tercatat, OJK, otoritas dan regulator di bidang keuangan, mewajibkan ADHI untuk melaporkan keuangan berkelanjutan atau pelaporan keberlanjutan sebagai standar ESG mulai tahun 2021. Standar ini telah menarik perhatian pemerintah dan dunia.

Penggabungan BUMN Karya masuk dalam roadmap BUMN 2024-2034. Batas waktu tersebut menjadi tidak relevan karena departemen BUMN akan bertanggung jawab atas program tersebut dan tidak akan dipotong setelah pergantian pemerintahan.

“Kita ambil contoh lagi Grup ADHI. Skalanya sekitar 60 triliun rupiah. Kita kira ini restoran terkenal. Mohon maaf yang tiba-tiba memimpin, karena terpaksa harus segera diselesaikan integrasinya. Bagaimana caranya? untuk meyakinkan investor agar berinvestasi?” pungkas Harry.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours