Subsidi Mobil Listrik Thailand Kacau Balau: Perang Harga dan Industri Otomotif Terguncang!

Estimated read time 3 min read

JAKARTA: Program subsidi kendaraan listrik di Thailand yang semula ditujukan untuk mendorong adopsi kendaraan ramah lingkungan telah menimbulkan gejolak di pasar mobil dalam negeri.

Kebijakan yang akan diterapkan berdasarkan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-Tiongkok pada tahun 2022 ini akan memberikan subsidi hingga 150.000 baht (sekitar Rp 70 juta) per mobil dan potongan pajak atas impor dari Tiongkok, dengan ketentuan produsen memproduksi barang yang sama. jumlah di Thailand.

Banjir, teriak para produsen

Kelebihan pasokan, perang harga, dan gangguan rantai pasokan merupakan permasalahan utama yang perlu segera diatasi. Foto:

Kebijakan ini menyebabkan kelebihan pasokan mobil listrik di Thailand. Sejak penerapannya, sebanyak 185.029 kendaraan listrik telah diimpor.

Namun hanya 86.043 mobil baru yang didaftarkan. Artinya, ada sekitar 90.000 kendaraan listrik yang belum terjual sehingga menyebabkan stok distributor bertambah.

Alhasil, produsen mobil listrik, khususnya asal China, seperti BYD dan Neta terpaksa menurunkan harga untuk menarik pembeli.

BYD bahkan telah menurunkan harga model Atto hingga 37%. Persaingan harga yang ketat merugikan produsen mobil lokal dan mengganggu stabilitas pasar.

Krisda Utamote, presiden Asosiasi Kendaraan Listrik Thailand, mengatakan kepada Nikkei Asia: “Kami mengalami kelebihan pasokan kendaraan listrik karena sebagian besar kendaraan listrik yang kami impor dari Tiongkok dalam dua tahun terakhir disimpan di inventaris Anda. Silakan distribusikan.”

Industri otomotif yang terganggu rantai pasokannya tidak berhenti di situ. Kebijakan subsidi juga mempengaruhi rantai pasokan otomotif Thailand. Setidaknya selusin produsen suku cadang mobil terpaksa tutup karena produsen mobil Tiongkok yang disubsidi menolak membeli dari mereka.

Industri otomotif Thailand, yang mempekerjakan lebih dari 750.000 orang dan menyumbang 11% terhadap PDB, berada di bawah tekanan.

Penjualan kendaraan sel bahan bakar telah turun tajam, terutama bagi produsen mobil Jepang di pasar Thailand.

Belajar dari kesalahan Thailand, UE menjadi lebih berhati-hati. Masalah serupa juga dihadapi di Eropa dan Amerika Serikat, dimana masuknya mobil listrik murah dari Tiongkok telah mengganggu pasar.

Uni Eropa bahkan mengenakan tarif pada mobil listrik Tiongkok untuk melindungi industri otomotif.

SAIC, BYD dan Geely Auto mengenakan biaya tambahan mulai dari 17,4% hingga 38,1%. Merek-merek Eropa yang mengimpor mobil listrik rakitan Tiongkok, seperti Mercedes-Benz, BMW, dan Renault, juga terkena dampaknya.

Pemerintah masih menganut kebijakan kendaraan listrik, dan meski terjadi kerusuhan, pemerintah tetap berkomitmen terhadap kebijakan kendaraan listriknya. “Kami sangat senang bahwa kendaraan listrik Tiongkok berinvestasi di negara ini,” kata Narith Terdsterasukdi, sekretaris jenderal Dewan Investasi Thailand, pada upacara pembukaan pabrik pembuat kendaraan listrik Tiongkok GAC Aion baru-baru ini.

Ia berharap pabrikan Tiongkok mendukung produsen suku cadang lokal dengan menggunakan suku cadang buatan Thailand.

Pelajaran berharga bagi Indonesia

Peristiwa di Thailand ini menjadi pembelajaran berharga bagi Indonesia dan juga menjadi insentif yang kuat bagi adopsi kendaraan listrik. Pemerintah harus mempertimbangkan dampak kebijakan subsidi terhadap industri otomotif dan rantai pasokan dalam negeri.

Baca Juga: Aion Semangat Hadapi GIIAS 2024! Orang pertama yang berpartisipasi dalam penjualan 1.188 mobil listrik!

Selain itu, penting untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya menguntungkan produsen asing, tetapi juga industri dan konsumen Indonesia.

Insiden ini juga menjadi peringatan bagi negara-negara lain yang berencana menerapkan kebijakan serupa agar waspada dan mempertimbangkan dampak keseluruhannya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours