Tak sekadar cinta, melestarikan batik juga dengan membatik 

Estimated read time 5 min read

Jakarta (ANTARA) – Batik saat ini biasa digunakan oleh berbagai kalangan setiap harinya, meski dulu hanya digunakan oleh raja dan keluarganya di lingkungan keraton.

Seiring berjalannya waktu, batik mulai diproduksi oleh masyarakat umum dan menjadi populer sebagai salah satu item pakaian.

Website Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan bahwa batik mulai berkembang pada masa kerajaan Mataram. Kemudian berlanjut pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta hingga saat ini. Gaya dan ragamnya juga terus berkembang.

Saat ini batik tidak hanya digunakan untuk acara-acara tertentu saja, seperti acara resmi atau formal. Batik kini sering digunakan sehari-hari dengan desain yang beragam dan lebih kekinian.

Apalagi sejak ditetapkannya Hari Batik Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Oktober. Batik semakin banyak digunakan oleh masyarakat, tidak hanya oleh kalangan lanjut usia, namun juga oleh generasi muda.

Batik dinyatakan sebagai warisan budaya takbenda oleh UNESCO pada tahun 2009, sehingga semakin dikenal tidak hanya di nusantara, tetapi juga dunia sebagai kekayaan budaya Indonesia.

Oleh karena itu, kita patut bangga dan mencintai batik sebagai karya budaya nenek moyang bangsa Indonesia.

Sebagai wujud kecintaannya terhadap seniman sekaligus kolektor batik, Dave Tjoa belajar membatik hingga ia menunjukkan hasilnya pada pameran batik bertajuk Kukila Khatulistiwa pada akhir Agustus lalu.

Koleksi batik yang dipamerkan bernama Oriental yang merupakan perpaduan batik Jawa dan Cina yang juga merupakan akar leluhur Dave.

Karena kecintaannya pada motif batik, Dave pun sudah akrab dengan kain tradisional tersebut karena menjadi pakaian sehari-hari kakek buyut atau nenek moyangnya.

Karena cinta saya mulai mempelajari motif, filosofi bahkan berburu batik. Selama 24 tahun ia mengoleksi ratusan koleksi batik.

Batik tiga negara

Sebagai keturunan Tionghoa, pria berusia 46 tahun ini sejak awal menyukai kain khas Indonesia seperti songket dan batik. Belakangan ia belajar cara membatik dan juga tentang arti dari batik itu sendiri.

Seiring berjalannya waktu, Dave pun penasaran dengan koleksi batik warisan keluarganya. Pada awal tahun 2000-an, neneknya menunjukkan batik biru putih milik keluarganya, yang menjadi awal mula menekuni batik Dave.

Ia mulai belajar membatik dengan mengoleksinya dari para perajin batik. Literasi membatik di Indonesia dinilai sangat rendah sehingga harus terjun langsung ke perajinnya.

Dari koleksi keluarga tersebut, Dave pun dikenalkan dengan Batik Tiga Negeri. Ia mengetahuinya dengan baik karena kakek buyutnya selalu menggunakannya dan dari situlah ia mulai belajar membatik.

Batik Tiga Negeri merupakan batik dengan motif kompleks yang memadukan tiga motif Lasem, Pekalongan, dan Solo yang direpresentasikan melalui warna.

Akulturasi anggun ini dipengaruhi oleh budaya Tionghoa yang didominasi warna merah, biru nila dari Belanda, dan coklat sogan dari Jawa. Kolektor dan seniman batik Dave Tjoa berpose di depan koleksi batik oriental miliknya yang dipamerkan di Jakarta pada akhir Agustus 2024. (ANTARA/Desi Purnamawati)

Untuk mengobati rasa penasarannya terhadap Batik Tiga Negeri, Dave berangkat ke Yogyakarta untuk melihat batik di pasar Beringharjo. Sejak saat itulah ia mulai jatuh cinta pada Batik Tiga Negeri dan terus mempelajarinya hingga saat ini.

Seiring mendalami batik, Dave pun menemukan berbagai jenis kain, mengoleksi dan mempelajarinya sehingga memperkaya pengetahuannya tentang batik, salah satunya sogan.

Sogan merupakan salah satu jenis batik klasik Jawa yang diambil dari nama pohon soga, biasanya berwarna gelap seperti coklat.

“Yang bagusnya gelap, saya lebih suka yang berwarna dan tidak membosankan. Tapi ternyata seiring berjalannya waktu saya mulai beralih dari yang berwarna ke tali,” kata Dave.

Menurutnya, dari perjalanan mengoleksi kain, sekilas Anda akan jatuh cinta dengan warnanya karena menarik. Namun begitu Anda memahami warna, Anda akan menyukai coklat, atau hanya biru atau putih.

“Kalau begitu, level kita akan lebih tinggi lagi. Makanya sekarang saya selalu bilang kalau kamu suka warna atau tali itu, berarti kamu sudah melebihi warna itu. karena itu cocok untukmu di dalam,’ katanya.

Seorang pengunjung melihat batik oriental koleksi batik Dave Tjoa yang dipajang di Antara Heritage Center Jakarta pada akhir Agustus 2024. (ANTARA/Desi Purnamawati)

Batik timur

Dari hasil perburuan batik selama 24 tahun, terdapat beberapa kain berusia lebih dari 100 tahun asal Juwana, Jawa Tengah, yang merupakan batik pesisir.

Melalui batik-batik tersebut, Dave belajar tentang kekayaan budaya tekstil Indonesia, mengetahui betapa sulitnya membuat batik dengan proses yang panjang.

Selama delapan bulan, gagal lagi dan lagi dan mencoba lagi. Hingga akhirnya Dave melahirkan serangkaian karya batik oriental sebagai koleksi perdananya.

Tema oriental dipilih karena ia tidak lepas dari nenek moyang Tionghoa dan karya seninya dituangkan dalam bentuk batik karena ia merupakan seorang keturunan namun lahir dan besar di tanah Jawa agar tidak melupakan tanah dimana ia berada. terletak. .

“Hasil dari membatik adalah saya bisa bercerita kepada orang lain bahwa membatik itu tidak mudah. Jadi kalau melihat batik yang jelek dan kasar sebenarnya tidak semudah itu pengerjaannya,” kata Dave.

Tema oriental dipilih karena tidak lepas dari nenek moyang Tionghoa. Karya-karyanya disajikan dalam bentuk batik. Sebagai seorang keturunan namun lahir dan besar di Pulau Jawa, ia tidak melupakan tanah tempat ia berada.

“Pesan yang sangat ingin kami sampaikan adalah jangan lupakan akar budaya kita. Jangan lupakan batik,” ujarnya.

Melalui pameran tersebut, Dave ingin mengajak banyak orang untuk memakai batik dan bangga. Apalagi jika kita terus belajar dan membatik sebagai upaya melestarikan kekayaan budaya bangsa.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours