Tambang Korporatisme Negara

Estimated read time 5 min read

Inspirasi B Saenong

Manajer pengembangan program Yayasan Inovasi Humanistik dan Sosial

“Hampir semua orang kuat dalam menghadapi penderitaan, tapi karakter seorang pria hanya bisa diuji dengan memberinya kekuatan.” Kutipan terkenal dari Presiden Amerika Abraham Lincoln dua abad lalu ini sekarang dapat diapresiasi dengan lebih baik dalam konteks konsesi pertambangan.

Pemberian izin pertambangan kepada lembaga keagamaan telah lama menjadi kontroversi. Terjadi saling serang antar partai politik yang mendukung dan menentang kebijakan tersebut berdasarkan cara pandang, pertimbangan, dan kepentingan masing-masing.

Namun perlu dipahami bahwa kontroversi yang muncul bukan hanya dampak dari kebijakan yang dimaksud. Kebijakan itu sendiri mengandung bahan peledak untuk melemahkan integrasi dan integritas kelompok-kelompok kritis dari negara dan dunia usaha (critical non-state non-profit actor). Fragmentasi kekuasaan sipil berujung pada konsolidasi politik dalam bentuk korporatisme negara, tanda terakhir dari era yang melupakan amanat Reformasi.

Proyek perusahaan

Pemberian izin pertambangan kepada lembaga keagamaan melanjutkan sisa proyek pertambangan yang dikaji banyak pengamat. Meskipun lembaga-lembaga keagamaan yang masih belajar cara menambang harus membersihkan pengelolaan tambang energi kotor dan kerusakan yang diakibatkannya, proyek baru ini, yang pada dasarnya adalah negara, mencoba untuk mengendalikan aktor-aktor utama non-negara.

Korporatisme negara dalam kaitannya dengan kekuatan sosial bukanlah hal baru. Strategi ini diterapkan secara efektif dan masif oleh penguasa hingga jatuhnya Presiden Soeharto.

Pada masa Orde Baru, korporatisme negara terwujud dalam upaya menundukkan aktor-aktor penting atau mereka yang dianggap berpotensi menantang prioritas dan kebijakan pemerintah. Pilihan lainnya adalah pengerahan kekuatan sosial yang menguntungkan rezim yang berkuasa.

Saat itu, negara mengulurkan tangan ke berbagai lembaga sosial yang terbagi dalam fungsi seperti PWI untuk masalah jurnalistik, SPSI untuk masalah ketenagakerjaan, MUI untuk masalah agama Islam, atau ICMI untuk masalah keilmuan. Mereka bahkan berusaha menekan kekuatan mahasiswa dengan menerapkan kebijakan NKK/BKK dan memaksa Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) menggantikan OSIS yang diketahui menentang orde baru.

Pasca reformasi, pemerintahan Jokowi telah menerapkan berbagai langkah untuk menjamin kemajuan pembangunan ekonomi warisan masterplan pembangunan era SBY dan menjaga arus investasi dengan berbagai peraturan dan kebijakan pendukung. UU Cipta Kerja dan UU Minerba memperkuat kontrol pemerintah pusat (resentralisasi) terhadap sektor-sektor strategis pembangunan yang bertentangan dengan otonomi daerah dan pelayanan publik yang lebih dekat kepada masyarakat.

Parahnya lagi, di akhir masa jabatan Jokowi, ia tidak puas mengatur isi sektor-sektor strategis, melainkan memastikan check and balances berada di bawah naungannya. Konsekuensi revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, serta beberapa konsekuensi revisi Prolegnas UU yang dilakukan RDK, menjadi ajang overreach pemerintah ke dalam lembaga kuasi negara.

Pemberian izin pertambangan kepada organisasi keagamaan merupakan salah satu skenario upaya negara untuk mengendalikan agenda politik yang tidak demokratis, eksklusif, dan sadar lingkungan. Pilpres-Pileg merupakan pilot project yang dilaksanakan atas dasar pragmatisme setelah perhitungan pemilu sebelum Pilkada pada waktu yang bersamaan.

Hal ini patut mendapat kritik lebih lanjut jika hal ini bukan merupakan episode terbaru dari korporatisme negara atas otoritas sipil. Aktor yang memiliki otonomi dan kekuasaan, seperti universitas, organisasi mahasiswa dalam kampus dan eksternal, juga dapat terlibat dalam skema korporasi untuk mengelola tambang atau sumber daya ekonomi lainnya.

Tanda-tandanya terlihat dari munculnya akademisi, organisasi akar rumput, dan organisasi mahasiswa yang mendiskreditkan penentang kebijakan perizinan pertambangan ini. Hal ini juga terlihat dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam perekrutan akademisi dan penasihat profesional.

Wacana hegemonik

Jelas, jika tidak mengherankan, bahwa suatu negara sedang berusaha untuk mendapatkan dukungan dari organisasi-organisasi massa. Setiap rezim selalu mempunyai keinginan dan cara untuk menyederhanakan permasalahan dan mengendalikan apa yang dianggap bermasalah. Apalagi mengingat kecenderungan Jokowi yang memperlambat pertumbuhan ekonomi pada periode kedua pemerintahannya.

Hilangnya sikap kritis lembaga-lembaga keagamaan massal, yang telah lama menjadi sumber pengawasan publik dan suara hati nurani publik, merupakan suatu hal yang tragis. Tokoh-tokoh agama di kalangan akar rumput dan aktivis intelektual tidak hanya membela diri mereka sendiri, namun juga menyerang para pengkritik lingkungan hidup yang biasanya sangat vokal terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan di negara tersebut.

Tak sedikit postingan dan komentar dari unsur pengurus PB NU dan PP Muhammadiyah yang berupaya mendelegitimasi dan mencoreng citra para aktivis dan intelektual lingkungan hidup dan perubahan iklim. Di balik apa yang tersaji di media dan ruang publik digital, tentu ada upaya tambahan untuk memoderasi sikap kritis di kalangan jemaah setiap ormas keagamaan.

Para pemimpin dan utusan intelektual dari lembaga-lembaga keagamaan massal secara sadar atau tidak sadar memperjuangkan hegemoni budaya dan intelektual, dengan harapan bahwa masyarakat akan menerima posisi mereka sebagai hal yang sah dan bahwa pemerintah akan membenarkan lembaga-lembaga keagamaan massal. Narasi peluang yang bisa diperoleh mengabaikan ketidakmampuan mengelola pertambangan dan konsekuensinya, serta lemahnya kemauan untuk menegosiasikan peluang yang lebih baik dengan pemerintah dan perusahaan.

Dalam skema besar, nampaknya satu per satu ormas ditarik ke ruang politik dengan menunjukkan pendapatan pertambangan yang tidak berkelanjutan. Hilanglah kebijaksanaan yang ada untuk berpikir dua atau tiga kali ketika organisasi keagamaan diminta untuk meninggalkan bidang pendidikan dan pelayanan kepada jamaahnya sendiri dan masyarakat sekitar.

Di luar argumen

Institusi keagamaan masih mempunyai peluang untuk memperbaiki keadaan. Metode yang digunakan dapat bersifat jangka pendek dan menengah. Dalam jangka pendek, masukan dari jaringan gereja dan organisasi masyarakat dapat dijadikan landasan moral untuk mengambil sikap menunda penambangan hingga ada keputusan yang lebih kuat. Selain itu, dalam perspektif jangka menengah, permasalahan ini perlu dipertimbangkan kembali dengan mempertimbangkan penerapan kerangka hukum baru (istidlal) dan survei lapangan untuk menentukan kepentingan publik (konsultasi).

Usulan konkrit yang disampaikan Mohamad Shohibuddin antara lain dalam diskusi yang digelar di Pondok Pesantren An-Nugaya, seperti pembentukan yurisprudensi keamanan yang mencakup kehidupan manusia dan alam. Usulan Budhy Munawar-Rachman lainnya tentang teologi ekologi memadukan prinsip teologis dengan kesadaran ekologis dalam tulisannya untuk merespons gagasan Ulil Abshar Abdalla.

Selain upaya internal organisasi-organisasi akar rumput di atas, para aktivis dan intelektual anti-tambang harus terlibat dalam dialog multi-level dengan para pemimpin organisasi-organisasi akar rumput keagamaan, dengan fokus pada pemulihan integritas dan kesatuan masyarakat sipil. Pertemuan-pertemuan ini harus dirancang untuk menyatukan kubu-kubu yang berseberangan dan menghentikan atau membalikkan upaya-upaya kerja sama yang melawan masyarakat sipil.

Belum pernah pada periode pasca-Reformasi kekuatan masyarakat sipil diuji seberat ini. Jika Anda tidak ingin didikte oleh kepentingan oligarki untuk tetap bebas polusi dan suara pihak-pihak yang merusak lingkungan, Anda tidak punya pilihan selain melakukan perbaikan.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours