Tapera, antara niat baik dan beban

Estimated read time 8 min read

JAKARTA (ANTARA) – Sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor. 21 Tahun 2024 tentang perubahan Peraturan Pemerintah no. di tempat umum.

Pasalnya, kepesertaan Tapera yang tadinya hanya diperuntukkan bagi pegawai negeri (PNS), kini diperluas ke pegawai swasta, BUMN, BUMD, BUMDes, TNI/Polri, serta pekerja mandiri. Beban retribusi sistem sebesar 3% akan ditanggung bersama antara pekerja dan dunia usaha. Dana rabat bersifat wajib dan dikelola oleh Badan Pengurus (BP Tapera).

Pekerja menolak keras kewajiban ini, yang akan mengakibatkan pendapatan mereka berkurang sebesar 2,5%. Pengusaha juga menentang pungutan 0,5%. Belum lagi, pekerja dan perusahaan juga harus menanggung beban iuran yang ada seperti pajak penghasilan, asuransi kesehatan, dan jaminan kerja.

Beberapa pekerja juga ditolak Tapera karena tidak semua orang mempunyai akses terhadap manfaat pembiayaan perumahan. Persyaratan pembiayaan Tapera terbatas pada kelompok berpenghasilan rendah dengan gaji bulanan hingga Rp 8 juta dan tidak memiliki tempat tinggal.

Sedangkan peserta Tapera yang bukan termasuk kelompok berpendapatan rendah dan telah memiliki rumah dapat menerima pembiayaan perbaikan rumah atau pengembalian simpanan pokok dan pendapatan pupuk setelah masa kepesertaan.

Sebelum Tapera banyak ditolak, pemerintah sudah memiliki skema pembiayaan perumahan bernama Tabungan Perumahan Pegawai Negeri (Taperum-PNS) yang dikelola oleh Badan Pembina Tabungan Perumahan (Bapertarum-PNS).

Bapertarum-PNS didirikan berdasarkan Keputusan Presiden No.

Kebijakan tersebut mengharuskan pegawai negeri sipil kelas 1 hingga 4 dipotong gajinya untuk menerima subsidi uang muka perumahan. Besaran tabungannya adalah Rp3.000 per bulan untuk PNS kategori pertama, Rp5.000 per bulan untuk kategori kedua, Rp7.000 per bulan untuk kategori ketiga, dan Rp10.000 per bulan untuk kategori keempat.

Namun pada tahun 2020 Bapertarum PNS dilebur menjadi BP Tapera setelah disahkannya UU No. Dengan begitu, seluruh perekonomian eks peserta Bapertarum-PNS dikonsolidasi dan dialihkan ke Tapera.

Peralihan dari Bapertarum-PNS ke BP Tapera membawa beberapa perubahan, salah satunya adalah peningkatan manfaat peserta.

Jika Bapertarum-PNS hanya mengembalikan simpanan pokok pada saat peserta pensiun, maka BP Tapera justru memberikan peningkatan manfaat berupa pengembalian pokok simpanan seiring bertambahnya dana.

Sejak peralihan Bapertarum-PNS ke BP Tapera pada tahun 2020, Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho mengatakan lembaganya belum membuka penarikan simpanan anggota baru, baik dari kalangan ASN maupun kalangan non-ASN.

BP Tapera saat ini mengelola dana hanya dari dua sumber, yaitu Dana APBN untuk Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan Dana Tapera untuk mantan peserta pamong praja Bapertarum.

“Sebagai organisasi baru, kami masih dihadapkan pada tugas Komisi Tapera untuk terus melakukan pembenahan tata kelola selama kami beroperasi pada tahun 2019 dan kemudian memerintah untuk membangun kepercayaan masyarakat,” kata Heru.

Komite Tapera saat ini diketuai oleh Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dan beranggotakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, anggota komite Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi dan seorang profesional.

Sesuai PP 21/2024, pengaturan mengenai pembebanan iuran Tapera bagi ASN atau pegawai yang menerima gaji atau upah dari APBN/APBD akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan berkoordinasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Sedangkan aturan Tapera bagi swasta, pekerja BUMN/BUMD/BUMDes akan diawasi oleh Menteri Ketenagakerjaan. Freelancer selanjutnya akan berada di bawah pengawasan langsung BP Tapera.

BP Tapera menyatakan, Simpanan Tabungan Tapera yang ditetapkan dalam PP 21/2024 masih menunggu publikasi regulasi berupa Keputusan Menteri, sehingga hingga saat ini belum ada pemotongan atau penyetoran dari Bank Tabungan Tapera.

Dalam PO 21/2024, pengusaha memiliki waktu hingga tahun 2027 untuk mendaftarkan pekerjanya ke BP Tapera untuk skema tabungan perumahan rakyat.

Tulen

Pemerintah sebenarnya memiliki skema subsidi perumahan, Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), yang didanai APBN, yang membantu masyarakat berpenghasilan rendah membeli rumah secara mencicil dengan tingkat bunga tetap 5% per tahun. Jangka waktu cicilannya bisa sampai 20 tahun.

Pada tahun 2023, program FLPP akan tersedia untuk 229.000 unit rumah, meliputi 228.914 rumah tapak senilai Rp 26,31 miliar dan 86 kondominium senilai Rp 11,94 miliar. APBN yang dikucurkan untuk program FLPP pada tahun 2023 mencapai Rp 26,32 triliun.

Namun target alokasi FLPP pada tahun 2024 dikurangi menjadi 166.000 unit rumah senilai Rp 21,6 triliun.

Meskipun ada subsidi FLPP, masalah perumahan di Indonesia masih belum terselesaikan. Saat ini backlog atau kekurangan perumahan di Indonesia mencapai 12,7 juta unit. Ini berarti 12,7 juta rumah tangga kehilangan tempat tinggal.

Tak hanya itu, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), 26 juta orang akan memiliki rumah kosong pada tahun 2023.

Oleh karena itu, untuk menjembatani kesenjangan tersebut, pemerintah mengusulkan skema pendanaan baru melalui iuran Tapera yang diharapkan dapat mengurangi masih tingginya backlog perumahan.

Pemerintah berkali-kali menyatakan, niat dan tujuan awal kebijakan Tapera baik, yakni menyelesaikan permasalahan backlog perumahan melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan suku bunga rendah.

Peluncuran Tapera juga bertujuan untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan masyarakat miskin untuk memiliki rumah, karena masih banyak warga miskin yang kesulitan mendapatkan pinjaman ke bank karena suku bunga yang terlalu mahal.

Herry Trisaputra Zuna, Direktur Departemen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, mengatakan tujuan utama program Tapera adalah untuk memenuhi amanat UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup dalam kondisi alam dan kesejahteraan mental, mempunyai tempat tinggal, mempunyai lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Tapera tidak hanya merupakan tabungan untuk membeli rumah, tetapi juga merupakan sumber pembiayaan kredit rumah dengan suku bunga terjangkau. Biaya kepesertaan Tapera selanjutnya akan diinvestasikan oleh BP Tapera.

Hasil investasi selanjutnya akan digunakan untuk mendanai KPR peserta Tapera. Melalui program ini, KPR ditawarkan dengan suku bunga lebih rendah dibandingkan KPR komersial.

Oleh karena itu, kata Heri, program Tapera harus dipatuhi oleh seluruh pegawai karena semakin banyak peserta program maka semakin banyak pula dana yang dapat dihimpun dan kemudian diinvestasikan.

“Hasil investasi ini digunakan untuk penerbitan KPR dengan tingkat bunga 5%,” ujarnya seraya menambahkan, suku bunga tersebut lebih rendah dibandingkan suku bunga pasar yang sebesar 11%.

KPR Tapera memiliki tingkat bunga tetap sebesar 5% dan jangka waktu pinjaman hingga 30 tahun.

Pemerintah menjamin pengelolaan dana tabungan masyarakat Tapera yang baik. Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan terus mengawal pengelolaan dana Tapera.

Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan menempatkan dana kelolaan Tapera pada berbagai sarana investasi, baik obligasi pemerintah (SBN), deposito, dan obligasi, dengan bantuan manajer investasi profesional yang diawasi OJK.

Berat

Meski terdapat berbagai manfaat yang diberikan Tapera, namun kebijakan tersebut dirasa masih memerlukan kajian dengan melibatkan masyarakat atau pemangku kepentingan terdampak.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menjadi salah satu pihak yang menolak Tapera karena dianggap membebani iuran bagi pelaku usaha dan karyawan/buruh.

Apinto mencatat, beban pajak yang ditanggung pengusaha saat ini berkisar antara 18,24% hingga 19,74%. Khusus Jaminan Sosial (Jamsotek), masing-masing program jaminan hari tua sebesar 3,7%, jaminan kerusakan industri 0,24% hingga 1,74%.

Kemudian pemberi kerja juga harus membayar 4% untuk asuransi kesehatan sosial dan cadangan kompensasi aktuaria sekitar 8%.

“Beban ini diperparah dengan depresiasi rupee dan lemahnya permintaan pasar,” kata Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani.

Selain kalangan pengusaha, sejumlah individu dan pegawai BUMN juga menilai program Tapera hanya akan menjadi beban baru dalam hidup mereka. Eko (37), pegawai salah satu perusahaan pelat merah di Jakarta, tak henti-hentinya memikirkan mengapa pemerintah kembali membebani masyarakat dengan kewajiban pemotongan selain pajak.

Lebih lanjut, Eko mengaku tidak ada niat membeli rumah dengan KPR sehingga menurutnya kebijakan Tapera hanya akan membebani tidak hanya dirinya, tapi juga pekerja lain yang sudah memiliki rumah dan memiliki KPR.

“Mungkin bisa dimaklumi kalau tidak wajib tapi sukarela. Masyarakat tidak akan menolak secara besar-besaran,” kata Eco.

Sementara itu, Nailul Huda, direktur ekonomi digital di Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios), berpendapat bahwa sumbangan Tapera belum tentu menjadi solusi efektif bagi tunawisma di Indonesia.

Huda mengatakan, belum jelas apakah tujuan PP 21/2024 untuk investasi atau akumulasi kepemilikan rumah. Selain itu, manfaat yang diperoleh bagi non-peserta Tapera juga akan sangat minim. Peserta yang tidak membeli rumah pertamanya karena preferensinya atau sudah memilikinya justru dirugikan jika tingkat pengembaliannya tidak optimal.

Celios merekomendasikan pemerintah mengubah PP 21/2024 karena berdasarkan simulasi perekonomian yang dilakukan Celios, aturan tersebut berpotensi menurunkan produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 1,21 triliun dan menyebabkan hilangnya 466.830 lapangan kerja.

Untuk itu, Celios merekomendasikan setidaknya tujuh usulan penyempurnaan aturan Tapera, termasuk mengubah kebijakan agar penghematan Tapera hanya berlaku bagi ASN, TNI/Polri, sedangkan pekerja tetap dan independen ikut sukarela ke KPK. Selanjutnya, penguatan tata kelola. Dana Tapera, penguasaan spekulasi tanah menjadi biang kenaikan harga rumah yang ekstrem.

Mereka antara lain merekomendasikan penurunan suku bunga KPR, baik tetap maupun variabel, serta mengutamakan dana APBN untuk perumahan rakyat.

Sadar akan penolakan masyarakat terhadap Tapera, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengaku menyayangkan dan tak mengantisipasi kemarahan masyarakat dan partai atas rencana tersebut.

“Dengan kemarahan ini, saya rasa saya sangat menyesalinya. Saya tidak nlegéwa (menurut saya),” kata Chung.

“Kami dan Menkeu (sepakat) membangun kredibilitas (BP Tapera) dulu karena ini soal kepercayaan,” lanjutnya.

Niat awal pemerintah meluncurkan Tapera tentu saja baik, yaitu untuk mengatasi backlog perumahan dan membantu masyarakat berpenghasilan rendah mendapatkan perumahan yang layak huni.

Namun, di tengah meluasnya penolakan masyarakat, pemerintah harus membuka dialog terbuka dengan masyarakat, dunia usaha, dan pemangku kepentingan lainnya, mendengarkan tuntutan mereka dan mempertimbangkan alternatif sebelum mengambil keputusan akhir.

Pemerintah, termasuk BP Tapera, nampaknya masih perlu memperbaiki tata kelola kelembagaan dan memastikan transparansi pengelolaan dana untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap skema rabat yang banyak disalahgunakan juga harus mengingatkan pemerintah sebelum menerapkan kebijakan Tapera.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours