Urgensi “green financing” di tengah darurat krisis iklim global

Estimated read time 5 min read

Jakarta (ANTARA) – Di era globalisasi dan modernisasi yang semakin pesat, dunia menghadapi tantangan terbesar dalam sejarah umat manusia, yaitu krisis iklim.

Pada ajang International Sustainability Forum Indonesia (ISF) 2024, isu ini tidak lagi sebatas diskusi para ilmuwan dan aktivis lingkungan hidup, namun sudah menjadi perhatian utama para pemimpin dunia.

Modernisasi yang dicapai melalui pembangunan industri selama satu abad terakhir telah meninggalkan jejak karbon yang signifikan. Oleh karena itu sudah sepantasnya seluruh lapisan masyarakat global mulai mempertimbangkan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

Indonesia mempunyai peran penting

Seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada sidang paripurna ISF 2024, jika Indonesia ingin lebih mendongkrak perekonomiannya, maka harus terus memastikan lingkungan tetap terjaga.

Karena posisi negara sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia mempunyai tanggung jawab besar dalam upaya global untuk mengurangi emisi karbon.

Selain itu, Indonesia memiliki salah satu hutan hujan terluas di dunia, termasuk pulau Kalimantan, Sumatra, dan Papua.

Hutan-hutan ini merupakan penyerap karbon alami, menyimpan karbon dalam jumlah besar dan membantu mengurangi konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer.

Namun, tingginya deforestasi akibat penebangan hutan, kebakaran hutan, dan konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit juga berkontribusi signifikan terhadap peningkatan emisi karbon global.

Indonesia sendiri telah menetapkan tujuan untuk mencapai net zero emisi (NZE) pada tahun 2060.

Target ambisius telah ditetapkan: mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen secara nasional dan hingga 43,2 persen dengan dukungan internasional.

Dalam sambutannya, Bendahara Negara mengakui bahwa faktor finansial menjadi tantangan utama dalam mencapai net zero emisi.

Padahal, dibutuhkan dana dalam jumlah besar untuk dapat mendukung semua sektor untuk mulai menerapkan transisi ke energi ramah lingkungan. Jadi keuangan ramah lingkungan (green finance) memainkan peran yang sangat penting di sini.

Upaya melalui pembiayaan hijau

Pembiayaan hijau adalah pembiayaan lain yang mendukung proyek-proyek yang berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan.

Pendanaan ini diperuntukkan bagi proyek-proyek yang berkaitan dengan energi terbarukan, efisiensi energi, pengelolaan limbah, pengelolaan sumber daya alam, serta upaya mitigasi dan perubahan iklim.

Tujuannya adalah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan tetap menjaga keseimbangan ekologi.

Obligasi ramah lingkungan, misalnya, merupakan instrumen keuangan yang sering digunakan dalam pembiayaan ramah lingkungan di Indonesia, dimana dana yang diperoleh dari obligasi ini digunakan untuk membiayai proyek-proyek ramah lingkungan.

Sri Mulyani mengatakan instrumen fiskal pemerintah seperti obligasi hijau dan biru berhasil menarik minat investor domestik dan internasional.

Kemudian, melalui mekanisme Direct Energy Transition Partnership (JETP) yang diluncurkan pada KTT G20 di Bali pada tahun 2022, pemerintah bertujuan untuk mempercepat transisi menuju energi ramah lingkungan.

Kabar terkini, melalui JETP, Badan Pembiayaan Pembangunan Internasional (DFC) AS telah menyetujui pendanaan sebesar $1 miliar atau setara Rp 16,2 triliun, bagi Indonesia untuk mempercepat transisi menuju energi ramah lingkungan.

Di antara berbagai instrumen pembiayaan ramah lingkungan, sukuk hijau dapat dianggap sebagai instrumen pembiayaan ramah lingkungan yang paling laris di Indonesia.

Indonesia merupakan pionir penerbitan green sukuk, obligasi berbasis syariah yang menarik perhatian investor internasional. Sukuk hijau ini memiliki permintaan yang kuat sehingga menarik investor dari berbagai negara termasuk Jepang dan Inggris.

Secara global, Indonesia telah menerbitkan green sukuk senilai US$5 miliar, dan untuk obligasi SDG pada tahun 2021 sebesar €500 juta.

Meski demikian, Indonesia masih memiliki jalan yang panjang dan sulit untuk mencapai tujuan transisi energi bersih tahun 2060.

Indonesia membutuhkan investasi ramah lingkungan sebesar $29,4 miliar per tahun hingga tahun 2030 untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060, menurut Asian Development Bank (ADB).

Kerjasama lintas sektoral

Pada ISF 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali menegaskan bahwa transisi energi tidak cukup hanya mengandalkan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Daripada menggunakan keuangan publik, diperlukan suntikan dana dari pemangku kepentingan lainnya.

“Kita perlu bekerja sama dengan sektor swasta dan mengundang lebih banyak dana non-publik untuk berpartisipasi dalam proyek ramah lingkungan,” ujarnya.

Melalui kolaborasi lintas sektor, pemerintah dapat membuat kebijakan dan insentif yang mendukung proyek ramah lingkungan, sementara sektor swasta menyumbangkan modal dan keahlian.

Kerja sama ini dapat dipastikan melalui insentif perpajakan bagi perusahaan yang berinvestasi pada proyek ramah lingkungan, seperti insentif penggunaan energi terbarukan atau kendaraan listrik.

Hibah juga dapat diberikan untuk mendukung bisnis yang berfokus pada solusi ramah lingkungan, sehingga mengurangi biaya di muka yang sering kali menjadi hambatan bagi proyek ramah lingkungan.

Perubahan sebagai sebuah tantangan

Di sisi lain, PT Bank Mandiri Tbk. (Bank Mandiri), sebagai salah satu lembaga keuangan terbesar di Indonesia, juga berperan penting dalam mendukung agenda penghijauan pemerintah.

Wakil Direktur Bank Mandiri Alexandra Askandar menegaskan kolaborasi memang menjadi kunci untuk mencapai keberlanjutan global.

Bank umum ini telah memfasilitasi pembiayaan ramah lingkungan (green financing) bagi beberapa perusahaan publik besar, seperti PLN dan Pertamina. Selain itu, mereka juga mendukung proyek infrastruktur ramah lingkungan yang dijalankan oleh perusahaan swasta.

Tantangan utama bagi keuangan ramah lingkungan adalah pada tahap awal perubahan ESG (lingkungan, sosial, dan tata kelola) di Indonesia. Oleh karena itu, menurutnya, kemampuan untuk mengembangkan dan berkolaborasi dengan lembaga keuangan yang lebih maju dalam penerapan ESG sangatlah penting.

Dalam beberapa tahun terakhir, Bank Mandiri menjadi pionir dalam pembiayaan ramah lingkungan (green financing) untuk mendukung proyek energi terbarukan.

Perseroan berkolaborasi dengan lembaga internasional seperti Asian Development Bank (ADB) untuk mengembangkan model ESG yang dapat digunakan secara lokal.

Langkah ini merupakan bagian dari strategi nasional untuk meningkatkan partisipasi lembaga keuangan dalam proyek ramah lingkungan melalui insentif keuangan yang diberikan pemerintah.

Dalam hal ini, lembaga keuangan mempunyai peran penting dalam transisi menuju ekonomi hijau.

“Kita tidak bisa melakukan ini sendirian.

Pada akhirnya, keberlanjutan tidak hanya berarti mengurangi emisi, namun juga menciptakan peluang ekonomi baru yang inklusif.

Melalui kerja sama erat antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga keuangan internasional, Indonesia ingin menjadi pionir dalam pembiayaan ramah lingkungan (green financing), sehingga membuka jalan bagi masa depan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Redaktur: Achmad Zaenal M

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours