Warga Nahdlatul Ulama Alumni UGM Desak PBNU Batalkan Pengajuan Izin Usaha Pertambangan

Estimated read time 4 min read

Yogyakarta – Warga Nahdlatul Ulama (NU), lulusan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, menolak memberikan izin pengelolaan pertambangan kepada organisasi masyarakat (ORMAS).

Mereka juga meminta PBNU membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sebelumnya diserahkan kepada pemerintah.

Warga NU lulusan UGM menilai batu bara merupakan sumber energi kotor yang berkontribusi besar terhadap pemanasan global dan perubahan iklim hingga berujung pada bencana besar di Indonesia.

“Penambangan batu bara di Indonesia, yang hanya menyumbang 3 persen dari cadangan dunia, adalah sebuah kejahatan. Penambangan ini memperburuk kondisi sosial dan lingkungan melalui perampasan tanah, penggusuran, penggundulan hutan, polusi, dan penderitaan lebih lanjut karena tambang-tambang yang terbengkalai,” kata aktivis NU tersebut. . Heru Prasetya dalam keterangannya dikutip Senin (10/06/2024).

Tak hanya itu, Heru juga menilai bisnis pertambangan seperti Baturaja di Indonesia marak dengan korupsi. Penambang mendapat manfaat besar dari pemerintah, terutama dalam kebijakan atau keputusan mengenai alokasi izin dan konsesi pertambangan.

Pada gilirannya, NU mengeluarkan beberapa resolusi terkait pertambangan dan energi pada Muktamar NU ke-33 di Jombang, 2015. Keputusan tersebut berimplikasi pada moratorium seluruh izin pertambangan.

Setelah itu, Bahatsul Masail LAKPESDAM-PBNU dan LBM-PBNU memimpin pada tahun 2017 dengan mendorong pemerintah untuk mengutamakan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan mengurangi penggunaan energi fosil untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut.

Kemudian pada Muktamar NU ke-34 di Lampung tahun 2021 juga merekomendasikan agar pemerintah menghentikan pembangunan PLTU baru berbahan bakar batubara mulai tahun 2022 dan menghentikan produksi mulai tahun 2022, serta pensiun dini/phase-out PLTU berbahan bakar batubara. Tahun ini akan dipercepat pada tahun 2040. Transisi menuju energi yang adil, demokratis, bersih dan murah.

“Keputusan, imbauan, dan rekomendasi NU hendaknya menjadi pedoman bagi pengurus PBNU dalam mengelola lembaganya saat ini dan masa depan,” jelasnya.

Menurutnya, PBNU harus menyadari bahwa selama ini kerugian akibat pertambangan paling banyak dirasakan oleh petani, penggarap, dan nelayan yang sebagian besar merupakan anggota NU, kelompok yang patut dipihak oleh pengurus NU.

Heru menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Ada dua pasal di PP yang dinilainya bermasalah.

Pertama, Pasal 83A berlaku bagi penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sebagai prioritas kepada badan usaha milik Organisasi Sosial (Ormas) Keagamaan.

Lalu, 83A PP Nomor 25 Tahun 2024 bertentangan dengan ayat (2) dan (3) Pasal 75 UU Minerba, dimana Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) diberi prioritas pemberian IUPK.

Kedua, ayat (2) pasal 195B. Pemerintah dapat memperpanjang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) operasi produksi untuk melanjutkan operasi kontrak/perjanjian sepanjang tersedia cadangan dan dinilai setiap 10 tahun.

“Dalih yang menganggap perolehan konsesi pertambangan sebagai kebutuhan finansial untuk mendukung lembaga harus dimusnahkan karena itu benar-benar menunjukkan ketidakmampuan pengurus dalam mengelola potensi NU,” tegasnya.

Melihat keprihatinan tersebut, Heru bersama 67 aktivis, akademisi, peneliti, tokoh budaya, dan industrialis NU menuntut penolakan izin pertambangan kepada organisasi kolektif yang dituangkan dalam delapan poin penting.

Ada yang menolak kebijakan pemerintah yang memberikan izin kepada lembaga keagamaan untuk menjalankan pertambangan, seperti tambang batu bara, karena merugikan lembaga keagamaan yang seharusnya menjaga harkat dan martabatnya sebagai lembaga moral. Hanya ormas elit tertentu saja yang mungkin akan merasakan manfaatnya.

Lebih jauh lagi, hal ini akan menghilangkan tradisi kritis organisasi massa dan pada akhirnya melemahkan organisasi keagamaan sebagai bagian dari kekuatan masyarakat sipil yang dapat mengontrol dan memantau pemerintah, dengan mengorbankan nahdalyan (rakyat) pada umumnya.

Ketiga, kami menyerukan agar PBNU menolak kebijakan pengelolaan pertambangan bagi ormas keagamaan dan mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang berlaku saat ini karena akan menjerumuskan NU ke dalam rawa dosa sosial dan lingkungan.

Keempat, menghimbau PBNU untuk kembali melayani masyarakat dengan mencabut izin pertambangan, yang akan mengkooptasi NU sebagai bagian dari instrumen kontrol masyarakat pemerintah, sambil tetap menggalakkan penggunaan energi terbarukan.

Kelima, meminta PBNU menata diri secara lebih baik dan profesional dengan memanfaatkan potensi kemandirian ekonomi yang ada tanpa terjerumus ke dalam usaha pertambangan kotor yang akan menjadi warisan kesalahan sejarah.

Keenam, kami menyerukan kepada pemerintah untuk konsisten dengan agenda transisi energi Net Zero Energy 2060, yang mencakup penghapusan batu bara sebagai komoditas ekspor dan sumber energi utama secara bertahap, serta menciptakan lingkungan yang mendukung pengembangan energi terbarukan melalui regulasi.

Ketujuh, mendesak pemerintah untuk mengendalikan kebijakan, memantau dan menegakkan hukum lingkungan hidup terhadap rusaknya sistem sosial dan lingkungan seperti perampasan lahan, pembukaan lahan, penggundulan hutan, eksploitasi, korupsi dan pencemaran akibat kegiatan penambangan batubara.

Poin terakhir, NU mengimbau lulusan UGM terus berupaya menyatukan seluruh elemen masyarakat dan menghapuskan peraturan-peraturan yang berujung pada kebangkrutan sosial dan lingkungan.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours