Memberangus Kemerdekaan Pers?

Estimated read time 7 min read

Jamalul Insan

Anggota Dewan Pers 2019-2022

Setidaknya ada dua hal yang menjadi perhatian pers Indonesia belakangan ini. Pertama, gugatan perdata yang diajukan mantan pegawai khusus Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman, terhadap dua media siber dan dua jurnalis, Inikita.co.id dan herald.id.

Tindakan hukum ini berjumlah Rp 700 miliar, sehingga diperkirakan tindakan hukum tersebut merupakan upaya untuk memiskinkan jurnalis dan membuat media bangkrut. Namun pada Selasa (21 Mei 2024) lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Kelas I Makassar, Sulawesi Selatan, akhirnya menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke verlaard), dengan putusan hakim dalam pokok perkara yang diajukan penulis. tuntutannya tidak jelas dan kabur (pencemaran nama baik Obscuur). Penggugat sebagai pihak yang kalah juga diwajibkan membayar biaya hukum sesuai putusan sebesar Rp362 ribu.

Gugatan perdata tersebut diajukan terkait pemberitaan yang diyakini menyudutkan penggugat, yakni pemberitaan “ASN yang diberhentikan di bawah kepemimpinan Gubernur Andi Sudirman Sulaiman diduga intervensi Tim Khusus” yang dimuat pada 19 September 2023. Sebelumnya, penggugat telah mengadu kepada kedua media tersebut di Dewan Pers.

Hasil pemeriksaan Dewan Pers menilai kedua media tersebut melanggar aturan etik jurnalistik yakni pasal 1 dan 3 yakni pemberitaan yang ditulis tidak benar dan tidak berimbang. Sanksinya, kedua media tersebut wajib mencantumkan hak jawab pelapor disertai permintaan maaf kepada pelapor dan masyarakat pembaca. Hal ini sesuai dengan Pasal 15 ayat (2d) Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang mana Dewan Pers mempertimbangkan dan berupaya menyelesaikan pengaduan masyarakat mengenai kasus-kasus yang berkaitan dengan pemberitaan pers.

Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa penanganan pengaduan masyarakat pada ayat (2) huruf d berkaitan dengan hak jawab, hak rektifikasi, dan dugaan pelanggaran kode etik jurnalistik. Meskipun diberikan hak untuk menanggapi dan meminta maaf, sayangnya tampaknya penggugat bertekad untuk meneruskan keberatannya melalui jalur perdata di pengadilan.

Ketuk Sengketa

Putusan majelis hakim yang tidak dapat menerima somasi dari penggugat dapat dijadikan sebagai undang-undang dalam setiap proses penanganan sengketa pers, dengan mengutamakan penyelesaian etik di dewan pers.

Kedua, yang belakangan menarik perhatian pers Indonesia adalah isu rancangan Undang-Undang (RUU) Repatriasi. Sebagian isi artikel tersebut dianggap oleh banyak pihak “mengkompromikan kebebasan pers”, sehingga memicu penolakan dari Dewan Pers dan konstituennya, serta organisasi jurnalis profesional yang melakukan aksi di berbagai daerah. Isu penting lainnya adalah persoalan penyelesaian sengketa pers.

Dalam teks Badan Legislatif tanggal 27 Maret 2024, pasal 8.ºA(q) mengacu pada tokoh-tokoh penting yang mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa jurnalistik. Hal yang sama ditegaskan dalam Pasal 42.2; “Penyelesaian perselisihan yang berkaitan dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh PKI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pasal ini tentu saja “menganut” atau menggantikan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Pasal 15 UU Pers secara khusus mengamanatkan Dewan Pers sebagai salah satu fungsinya, yaitu penyelesaian sengketa pers. Secara lebih umum, UU Pers juga mengatur pengaturan pers secara mandiri dan pengaturannya diserahkan kepada Dewan Pers.

Fungsi Dewan Pers antara lain melindungi kebebasan pers dari campur tangan pihak lain; melakukan pengkajian bagi perkembangan kehidupan pers; menetapkan dan memantau penerapan Kode Etik Jurnalistik; mempertimbangkan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat mengenai kasus-kasus yang berkaitan dengan pemberitaan pers; mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah; memfasilitasi organisasi pers untuk menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi jurnalistik; dan mendaftarkan perusahaan pers.

Jurnalisme investigatif

Pasal berbahaya lainnya bagi kebebasan pers adalah pasal 50-B ayat 2c, yakni larangan “penyebaran jurnalisme investigatif secara eksklusif”. Pasal ini jelas bertentangan dengan pasal 4 UU Pers yang menyatakan bahwa pers tidak dikenakan sensor, pelarangan, dan pelarangan penyiaran.

Dari keterangan beberapa anggota DPR, tak ada yang menjelaskan logika dan alasan memasukkan pasal seperti itu ke dalam RUU tersebut. Bahkan, ada pernyataan yang menunjukkan kerancuan pemahaman jurnalisme investigatif dengan program hiburan semata.

“Alasan rancangan revisi undang-undang penyiaran memuat larangan terhadap lembaga radio dan televisi adalah untuk menghindari monopoli transmisi eksklusif jurnalisme investigatif yang hanya dimiliki oleh satu media atau sekelompok media. Padahal semua media sosial memiliki hak tersebut. kemungkinan mengirimkan konten.”

Jurnalisme investigatif adalah karya jurnalis yang secara khusus terlibat di dalamnya, sehingga nilai eksklusifnya pasti hanya diberikan kepada mereka yang terlibat. Bisa jadi pemberitaan investigatif dilakukan oleh satu media atau melibatkan beberapa media. Pelaporan mereka melampaui siklus berita harian, karena mereka menyelidiki isu-isu kompleks dan mengungkap kebenaran yang tersembunyi.

Apalagi saat ini, di dunia yang penuh dengan misinformasi, jurnalisme investigatif berperan penting dalam memberikan informasi yang akurat kepada publik. Sesuai dengan tujuan jurnalisme, yaitu memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat agar dapat berorganisasi dan mengambil keputusan untuk kepentingannya sendiri.

Perkembangan media digital dan jurnalisme warga, serta tersedianya beberapa platform baru, membuka peluang bagi jurnalis untuk mengeksplorasi dan menyajikan berita yang lebih dalam dan beragam. Kemunculan berita di media cetak yang diperluas melalui platform audiovisual (podcast dan saluran video) menempati tempat khusus di masyarakat.

Pemberitaan investigatif yang selama ini hanya mengisi ruang media cetak dengan khalayak yang “terbatas” kini tampaknya telah menemukan ranah yang sangat luas, tidak hanya bersifat lokal, nasional (lintas negara) namun merambah dunia (lintas negeri). kata) pada saat yang sama. waktu.

Oleh karena itu, sangat beralasan untuk menduga bahwa upaya pelarangan siaran eksklusif jurnalisme investigatif lebih berkaitan dengan kekhawatiran terhadap pencegahan penyebaran pemberitaan investigatif secara massal di ruang publik melalui media penyiaran (baca saluran video internet). Kita berharap munculnya beberapa pasal yang mengancam kebebasan pers hanya karena ketidaktahuan, sehingga masih ada kemungkinan kontribusi yang akurat dan komprehensif dari korps pers berbagai kalangan.

Terkait dengan adanya pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers dalam UU Penyiaran ini, kami berharap hal tersebut bukan merupakan serangkaian tindakan yang disengaja. Tak luput dari ingatan kita, pada tahun 2022 disahkan DPR sekitar 10-14 pasal berbahaya yang berpotensi merampas kebebasan berekspresi dalam RKUHP.

Jika kita kembali ke tahun 2020, ada juga upaya pelemahan kebebasan pers dalam UU Cipta Kerja atau yang pada awal kemunculannya disebut dengan “omnibus law”. Salah satu pasal dalam undang-undang ini memuat aturan tentang pers, denda dan sebagainya, selain memungkinkan lahirnya peraturan negara (PP) yang mengatur pers. Untungnya, dengan gelombang protes dari kalangan pers dan beberapa langkah, pasal ini akhirnya dihapus dari UU Cipta Kerja.

Kami berharap penolakan pers di berbagai daerah terhadap berbagai pasal UU Penyiaran juga membuahkan hasil yang sama. Yang Mulia Dewan Senayan akan mencabut pasal-pasal tersebut, yakni pasal larangan jurnalisme investigatif dan kewenangan menyelesaikan sengketa pers.

Pencipta kebebasan pers

Pada akhirnya, meskipun kami meyakini adanya ancaman eksternal terhadap kebebasan pers, sebagaimana dijelaskan di atas, tidak dapat disangkal bahwa perilaku sebagian “komunitas pers” merupakan ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia.

Saat ini banyak orang yang hanya ingin merampas “berkah” masa pensiun, yakni kemudahan berkreasi media tanpa harus memiliki SIUP (izin penerbit pers), namun tanpa mau memenuhi kewajiban yang menyertainya. Banyak media yang dianggap diciptakan oleh orang-orang yang jauh dari kompetensi, sehingga karya mereka sama sekali tidak mencerminkan karya jurnalistik.

Sistem pers Indonesia bertumpu pada sistem yang kuat, dengan adanya undang-undang pers nomor 40 tahun 199, yang memungkinkan komunitas pers untuk mempertahankan diri tanpa intervensi. Sayangnya, kebebasan yang diberikan kepada pers cenderung dimanfaatkan oleh para praktisi jurnalisme kepentingan.

Sejak reformasi, pertumbuhan media di musim hujan tidak berbanding lurus dengan kualitas pers yang baik dan kuat. Banyak media yang mengaku sebagai media sosial hanya melayani kepentingan kelompok tertentu atau hanya menerima pesan dari institusi atau otoritas pemerintah. Dengan cara ini, media kita tumbuh tanpa budaya skeptisisme dan kritik.

Buktinya, Dewan Pers mencatat jumlah pengaduan masyarakat terhadap pers (pemberitaan dan perilaku jurnalistik) terus meningkat setiap tahunnya. Ada yang beranggapan positif berarti kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pers semakin meningkat, sehingga rela mengadu jika melihat kekeliruan atau kekeliruan yang dilakukan pers.

Namun fakta bahwa jumlah pengaduan ke Dewan Pers meningkat menunjukkan bahwa pelanggaran yang dilakukan pers semakin meningkat. Secara umum, pelanggaran yang sering dilakukan oleh media dan jurnalis adalah tidak menguji suatu informasi, tidak memverifikasi, tidak mengkonfirmasi, yang merupakan hal yang sangat mendasar dalam jurnalisme. Bahkan terdapat bukti bahwa beberapa media dan jurnalis menyalahgunakan profesi dan sarana komunikasi mereka untuk “pemerasan”.

Bagi yang tidak terkait dengan pekerjaan jurnalistik, Dewan Pers akan mendorong pelapor untuk menangani pengaduannya dengan menggunakan undang-undang di luar UU Pers. Perlindungan melalui UU Pers hanya berlaku bagi media dan jurnalis profesional yang mematuhi Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers.

Menjaga kualitas pers tentunya menjadi kewajiban semua pihak, mulai dari Dewan Pers dan konstituen pers, perusahaan pers, pemerintah – eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta masyarakat. Setiap orang wajib untuk tidak memberikan ruang terhadap munculnya pers yang tidak profesional, apalagi mempertahankannya.

Kesimpulannya, judul artikel sengaja memilih kosa kata “moncong”, yang dalam kbbi.web.id mengartikan moncong sebagai pembungkus yang digunakan untuk menutupi moncong binatang, misalnya anjing atau anak lembu. Anjing diberangus agar tidak menggigit atau menggonggong, sedangkan anak sapi diberangus agar tidak menyusu. Jika itu untuk pers, temukan pasangan yang tepat.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours