Pentingnya Pengendalian Subsidi Bahan Bakar Minyak

Estimated read time 6 min read

Jujur selamanya

Pemerhati Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik, Ketua Pengurus Harian ILKI 2015-2025.

Beberapa pengguna energi di Indonesia dalam beberapa minggu terakhir tampak kebingungan, terutama para ibu-ibu yang menggunakan gas LPG 3 kg. Atau pengguna mobil pribadi yang suka minum bahan bakar perlite, ditambah pengemudi truk yang menggunakan solar. Faktanya, ketiga entitas energi ini telah “dilibatkan” oleh pemerintah, dan juga oleh Pertamina, dalam beberapa bulan terakhir.

Para ibu merasa risih karena ketika membeli gas elpiji 3 kg atau biasa disebut gas Melon harus menyerahkan KTP terlebih dahulu. Tujuannya untuk mencatat apakah dia miskin atau tidak. Masyarakat miskin yang disebutkan tentunya adalah mereka yang terdaftar dalam versi DTKS (data gabungan kemiskinan sosial) Kementerian Kesejahteraan Sosial (Kamensus), atau sebaliknya. Jika tidak terdaftar di DTKS, maka ibu-ibu tersebut pada akhirnya tidak bisa membeli Melon Gas karena tidak termasuk dalam kategori miskin. Hasilnya, dari pendataan tersebut, hanya kelompok tertentu yang diperbolehkan menggunakan gas elpiji 3 kg.

Sesuai Keputusan Menteri (Kafman) ESDM no. 37.KIM.01/MEM.MI/2023 secara tegas menyebutkan kelompok yang diperbolehkan menggunakan gas LPG 3 kg adalah: rumah tangga miskin (menurut DTKS Kementerian Kesejahteraan Sosial), sektor UMKM, nelayan sasaran, petani sasaran. Sedangkan kelompok yang tidak boleh menggunakan gas elpiji 3 kg adalah: hotel, restoran, laundry, usaha peternakan, usaha pertanian, usaha penanaman tembakau, usaha jasa pengelasan, berbagai usaha besar dan terakhir rumah tangga sejahtera yaitu Bat Yam. tangga yang mumpuni.

Sementara untuk pengguna Pertalite dan Diesel, pendataan serupa dilakukan melalui alat aplikasi MyPertamina. Dengan aplikasi ini, pengguna akhir Pertalite dan Solar memiliki beberapa bentuk alokasi kuota. Muncul informasi bahwa maksimal pengguna dibatasi 60 liter per hari. Dan jika melebihi kuota maksimal maka konsumen harus membeli BBM non subsidi, misalnya BBM Partmak.

Dampak dari penjatahan yang terjadi di beberapa tempat, khususnya di luar Pulau Jawa, mengakibatkan antrean yang sangat panjang, hingga berjam-jam, bahkan hingga semalaman di SPBU, khususnya bagi pengemudi truk. Ini merupakan pemandangan yang tidak menyenangkan, terutama di provinsi penghasil minyak seperti Kalimantan Timur. Mereka rela mengantri berjam-jam untuk mendapatkan BBM bersubsidi yang dinilai lebih murah.

Pertanyaannya, apakah ada motif khusus dari pemerintah sehingga untuk membeli gas Melon harus memberikan KTP ke agen gas elpiji? Atau kenapa harus menggunakan aplikasi MyPertamina untuk membeli perlite dan solar yang berujung pada antrian panjang?

Usut punya usut, seperti bunda, pemerintah juga pusing karena anggaran subsidi energi yang meningkat di APBN tahun 2024; Baik untuk gas hotel, bahan bakar dan juga untuk listrik. Bagaimana tidak bingung, sebab saat ini alokasi anggaran subsidi energi pada tahun 2024 mencapai Rp186,9 triliun dengan rincian Rp113,3 triliun untuk subsidi BBM dan gas elpiji 3 kg, serta subsidi listrik sebesar Rp73,6 triliun.

Angka tersebut meningkat dari semula Rp159,6 triliun (2023) dan lebih tinggi dari target sebesar Rp145,3 triliun. Besaran subsidi tersebut belum termasuk uang kompensasi yang dibayarkan negara untuk bahan bakar Pertalita. Sebab, jika harga jual BBM Pertalita lebih rendah dari harga keekonomian, maka pemerintah harus menyediakan dana untuk memberikan kompensasi kepada Partamine.

Mengacu pada konfigurasi besaran subsidi tersebut, kita dapat memahami upaya pemerintah dalam mengendalikan konsumsi bahan bakar bersubsidi dan (kemudian) listrik. Menggunakan teknologi digital seperti MyPertamina atau berbasis NIK (KTP) sebenarnya masuk akal. Terkait kebijakan gas LPG 3 kg yang dicanangkan pada tahun 2009, awalnya hanya diperuntukkan bagi kelompok tertentu (miskin), sebagai pengganti minyak. Namun seiring berjalannya waktu, pengguna gas elpiji 3kg semakin banyak. Masyarakat yang mampu meminum gas elpiji 3 kg, termasuk penghuni apartemen sekalipun.

Apa alasannya? Ya, karena harganya jauh lebih murah dibandingkan membeli gas elpiji non subsidi (5,5 kg, 12 kg, dst) yang harganya irit. Oleh karena itu, jika tidak ada pengendalian sama sekali, maka dipastikan kuota BBM subsidi sebesar Rp 186,9 triliun pada tahun 2024 akan terlewati, yakni akan dilanggar. Jika hal ini terjadi, tentu akan menggerogoti alokasi anggaran/subsidi lainnya seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, bahkan subsidi pupuk bagi petani.

Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah melalui MiPertamina dan KTP akan efektif mengurangi konsumsi BBM bersubsidi, gas elpiji 3 kg atau solar? Dan bukankah ini melanggar hak publik?

Seiring dengan kemajuan teknologi digital, pengendalian BBM bersubsidi berbasis aplikasi MyPertamina dan KTP harusnya bisa efektif. Dengan asumsi 100 persen pembelian konsumen dilakukan di SPBU. Soalnya saat ini banyak “part mini” di lapangan yang juga menjual BBM secara eceran.

Penjualan melalui “Fartmini” berpotensi mengurangi kuota BBM bersubsidi. Sebab meski dalam aturan tersebut disebutkan bahwa “Fartmini” tidak diperbolehkan menjual BBM bersubsidi seperti Partlite, namun mereka tetap bisa membeli Partlite di SPBU tertentu yang ada di wilayah tersebut. Hasil “diskusi” saya dengan supplier Pertmini, mereka bisa mendapatkan Partlite di SPBU langganan mereka. Entah dengan “tahina” atau tidak. Untuk menyiasatinya, mereka membeli sepeda motor, terutama sepeda motor yang tangki bensinnya besar.

Sementara itu, pembelian gas elpiji 3 kg dengan menggunakan KTP juga berpotensi kurang efektif karena banyak ibu-ibu yang membeli gas elpiji melalui sub-agen, lapak retail yang tentunya tidak meminta KTP berdasarkan KTP yang hanya dimiliki oleh agen resmi, bukan sub agen apalagi toko kelontong. Dan bukan tidak mungkin agen dan sub agen akan saling menggoda untuk menjual gas elpiji 3 kg agar awet.

Saat ini, hingga November 2023, terdapat 27,8 juta pengguna gas LPG yang terdaftar melalui aplikasi Pertamina. Oleh karena itu, agar alat pengendali BBM bersubsidi dan gas LPG 3 kg ini dapat efektif, diperlukan pengawasan yang bersifat multi level dan komprehensif. Dan harus ada sanksi yang lebih tegas, dan bila perlu memberikan efek jera bagi pelanggarnya. Dan kita juga harus memikirkan untuk memperkecil kesenjangan antara harga elpiji 3 kg dengan harga gas elpiji nonsubsidi yang jaraknya sangat jauh. . Meski kualitas keduanya sama.

Padahal, pengendalian BBM bersubsidi dan gas LPG 3 kg, termasuk listrik, merupakan kebijakan yang relevan secara sosial ekonomi dan kebijakan energi. Pembatalan/penghapusan subsidi energi bukanlah inti dari kebijakan ini. Pasalnya, hal ini sudah diatur secara jelas dalam UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, bahwa subsidi energi merupakan kebijakan konstitusional.

Namun Pasal 7 Ayat 2 UU Energi mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi energi yang diperuntukkan bagi kelompok rentan di masyarakat. Oleh karena itu yang ditekankan adalah dana subsidi energi ditujukan untuk masyarakat miskin (saja). Jika demikian, timbul pertanyaan, apakah pemilik kendaraan pribadi sebagai pengguna kendaraan pribadi termasuk dalam kategori masyarakat tidak mampu sebagaimana disyaratkan dalam undang-undang energi? Bagi pengguna sepeda motor, 15 persennya merupakan kelompok rentan yang terkena dampak perubahan kebijakan harga bahan bakar.

Khusus bagi pengguna gas LPG 3 kg, sangat mendesak untuk dilakukan pengecekan data DTKS Kementerian Kesejahteraan Sosial secara bertahap. Data Kementerian Kesejahteraan Sosial harus terus dimutakhirkan untuk memastikan data masyarakat miskin benar-benar memenuhi tujuan. Sebab subsidi energi merupakan hak warga negara, khususnya masyarakat tidak mampu. Acuan normatif warga miskin adalah DTKS Kementerian Kesejahteraan Sosial. jelas, bukan?

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours