Koperasi sebagai self regulatory organization wujudkan kemandirian

Estimated read time 5 min read

JAKARTA (ANTARA) – Sebagai self-regulatory Organization (SRO) dalam struktur kelembagaan sistem perekonomian nasional Indonesia, koperasi mengacu pada kemampuan koperasi dalam melakukan pengelolaan dan pengawasan mandiri sesuai dengan prinsip dan peraturan yang telah ditetapkan.

Menurut UU No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian, koperasi di Indonesia dianggap sebagai kelompok yang mempunyai peranan penting dalam mensejahterakan anggotanya dan masyarakat luas.

Koperasi di Indonesia dijalankan berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong royong yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan pada perekonomian kerakyatan.

Dalam konteks internasional, koperasi dianggap sebagai entitas yang dapat bertindak sebagai organisasi yang mengatur dirinya sendiri dengan wewenang untuk menetapkan standar operasional, memantau kepatuhan dan menegakkan aturan di antara para anggotanya tanpa intervensi langsung dari pemerintah.

Prinsip ini sejalan dengan definisi koperasi dari International Cooperative Alliance (ICA) yang menekankan bahwa koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang secara sukarela bersatu untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya melalui kepemilikan bersama dan kontrol kolektif. Demokrasi korporasi.

Praktik kerja sama SRO Indonesia juga mencakup kerja sama dengan pemerintah dalam berbagai program pembangunan.

Misalnya saja koperasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang berperan aktif dalam upaya mengatasi stunting melalui kemitraan dengan pemerintah daerah dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Inisiatif-inisiatif tersebut menunjukkan bagaimana koperasi dapat berfungsi sebagai pilar ekonomi, tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi, namun juga pada isu-isu sosial yang kompleks, mempertahankan identitas mereka sebagai entitas independen dan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Melacak simpan pinjam koperasi di berbagai negara menunjukkan pola perubahan yang menarik dengan tetap mempertahankan kearifan lokal dan model bisnis koperasi yang khas.

Misalnya, di Jerman, serikat kredit (Volksbanken dan Raiffeisenbanken) beroperasi di bawah pengawasan Otoritas Pengawas Keuangan Federal (BaFin) dan Deutsche Bundesbank.

Sistem ini menggabungkan peraturan gaya perbankan yang ketat dengan prinsip-prinsip koperasi yang tertanam kuat dalam masyarakat negara tersebut.

Serikat kredit Jerman selalu fokus dalam melayani anggotanya dan komunitas lokal, dengan tetap mematuhi standar Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) melalui audit wajib terhadap asosiasi koperasi regional dan nasional.

Di Kanada, serikat kredit (yang setara dengan serikat simpan pinjam) diatur oleh pemerintah provinsinya, dan beberapa provinsi telah membentuk badan pengatur khusus untuk sektor ini. Misalnya, di British Columbia, Otoritas Jasa Keuangan (BCFSA) bertanggung jawab mengawasi serikat kredit.

Model ini memungkinkan dilakukannya kajian lebih dekat terhadap karakteristik lokal masing-masing provinsi, dengan tetap berpegang pada standar nasional mengenai keamanan dan kesehatan lembaga keuangan.

Serikat kredit Kanada berhasil menggabungkan nilai-nilai koperasi seperti demokrasi dan kepedulian terhadap masyarakat dengan manajemen risiko dan praktik tata kelola modern.

Sementara di India, koperasi simpan pinjam berada di bawah regulasi ganda, yaitu Reserve Bank of India (RBI) di pihak bank dan Kementerian Koperasi di pihak lembaga koperasi.

Pola ini mencerminkan upaya India untuk menyeimbangkan kebutuhan akan stabilitas keuangan dengan mempertahankan identitas koperasi yang kuat.

Meskipun terdapat tantangan dalam implementasinya, pendekatan ini memungkinkan credit unions di India untuk terus fokus pada pemberdayaan ekonomi dasar dan inklusi keuangan, sambil secara bertahap meningkatkan standar tata kelola dan manajemen risiko sejalan dengan praktik terbaik internasional.

Memperkuat peran tersebut

Koperasi sebagai self-regulatory Organization (SRO) dalam usaha simpan pinjam di Indonesia dapat diartikan sebagai penguatan peran koperasi dalam pengaturan mandiri dan pengawasan, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip perkoperasian dan tata kelola perusahaan yang baik (GCG).

Koperasi simpan pinjam di Indonesia harus menerapkan prinsip pengelolaan keuangan yang bertanggung jawab dan mempunyai legalitas usaha yang jelas, sesuai surat Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI, No.: B-533/KUKM/Dep.1 /XII/2021 Sudah didistribusikan ke seluruh departemen untuk kerjasama dengan tujuan lebih meningkatkan pengelolaan kerjasama.

Sebagai SRO, credit unions di Indonesia harus mampu menyeimbangkan kepentingan anggotanya dan mematuhi peraturan yang berlaku.

Koperasi harus menerapkan prinsip-prinsip GCG seperti transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi dan kejujuran dalam operasionalnya.

Hal ini mencakup pembatasan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan prinsip koperasi, seperti larangan memberikan pinjaman kepada pihak yang bukan anggota koperasi atau pemberian jasa keuangan selain simpan pinjam.

Dengan demikian, koperasi simpan pinjam dapat mempertahankan identitasnya sebagai lembaga keuangan milik anggota yang fokus pada pemberdayaan ekonomi anggotanya.

Konsep ideal pengaturan dan pengawasan koperasi simpan pinjam dapat diwujudkan dengan menerapkan sistem hierarki yang mencakup pergerakan koperasi pada setiap model bisnis melalui koperasi sekunder.

Dengan pendekatan ini, mekanisme pengawasan independen yang efektif dapat dibangun, sekaligus menjaga prinsip independensi koperasi.

Dalam sistem ini, koperasi primer akan mengatur langsung koperasi sekunder berdasarkan model bisnisnya, seperti Inkopdit untuk koperasi simpan pinjam, Inkopsyah untuk koperasi simpan pinjam syariah, Inkud untuk koperasi konsumen, dan Inkowapi untuk koperasi perempuan.

Koperasi sekunder ini akan bertindak sebagai badan pengawas utama, melakukan proses verifikasi perizinan dan menerima laporan rutin dari koperasi primer.

Mereka akan melakukan fungsi pengawasan, bimbingan dan dukungan teknis untuk koperasi anggota utama mereka, memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip koperasi dan standar operasional yang telah ditetapkan.

Melalui sistem hierarki ini, pemerintah dapat bertindak sebagai regulator dan pengawas tingkat terakhir, dengan fokus pada perumusan kebijakan dan pengawasan makro koperasi.

Peran aktif koperasi sekunder dalam pengawasan dan pembinaan akan membantu mengurangi beban pemerintah dan meningkatkan efektivitas pengawasan, karena pengawasan dilakukan oleh lembaga yang lebih memahami karakteristik dan kebutuhan spesifik berbagai jenis koperasi.

Sistem ini juga mendorong gerakan koperasi untuk berpartisipasi aktif dalam pengorganisasian mandiri, memperkuat rasa memiliki dan tanggung jawab bersama, serta meningkatkan profesionalisme pengurus koperasi.

Dengan demikian, prinsip kerja sama dan independensi dapat tetap terjaga, dan negara dapat menjalankan fungsi pengawasannya dengan lebih efektif dan efisien.

*) Penulis adalah Wakil Rektor III Universitas Ikoping dan Ketua Umum IMFEA dan ADEKMI.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours