Menanti solusi dua negara: Asa dan realita konflik Israel-Palestina

Estimated read time 6 min read

Jakarta (ANTARA) – Konflik Israel-Palestina terus menjadi fokus perhatian global. Sejak Oktober tahun lalu, dunia telah menyaksikan serangkaian serangan dan respons berturut-turut, yang menciptakan gelombang dukungan internasional terhadap Palestina di satu sisi, dan aksi militer Israel di sisi lain.

Sepuluh bulan telah berlalu sejak serangan besar-besaran Hamas dan kelompok militan Palestina lainnya melalui Operasi Badai Al Aqsa, yang dilancarkan dari Jalur Gaza dan Israel selatan, invasi pertama ke wilayah Israel sejak Perang Dunia Kedua tahun 1948.

Gelombang kekerasan ini tidak hanya berdampak pada Hamas, tetapi juga kelompok pro-Palestina lainnya di Timur Tengah seperti Houthi dan Hizbullah, sebuah ancaman serius bagi Israel, terutama setelah meninggalnya tokoh-tokoh penting seperti Ismail Haniyeh, presiden organisasi ini. . Biro Politik Hamas di Teheran dan komandan senior Hizbullah Fouad Shukr di Lebanon. Konflik ini mencerminkan kompleksitas dan sejarah panjang konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung sejak berdirinya Negara Israel pada tahun 1948.

Konflik Israel-Palestina dimulai pada akhir abad ke-19, ketika imigrasi Yahudi ke Palestina, yang saat itu berada di bawah pemerintahan Ottoman, meningkat. Ketegangan meningkat setelah Perang Dunia I, ketika Liga Bangsa-Bangsa memberi Inggris wewenang untuk mengelola Palestina.

Konflik antara komunitas Arab dan Yahudi di wilayah tersebut memuncak pada tahun 1947 dengan dikeluarkannya resolusi PBB yang mengusulkan pembagian Palestina menjadi dua negara, satu untuk Yahudi dan satu lagi untuk Arab. Penolakan negara-negara Arab terhadap resolusi ini memicu perang Arab-Israel pada tahun 1948.

Tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Israel

Sejak saat itu, operasi militer Israel dan pembangunan pemukiman di wilayah Palestina telah menimbulkan penderitaan yang sangat besar bagi rakyat Palestina. Misalnya saja, Operasi Cast Lead pada tahun 2008-2009 yang menewaskan lebih dari 1.400 warga Palestina dan melukai ribuan lainnya. Laporan dari berbagai organisasi hak asasi manusia menekankan bahwa penggunaan kekuatan berlebihan yang dilakukan Israel telah menimbulkan dampak serius terhadap warga sipil.

Penderitaan rakyat Palestina semakin parah setelah Operasi Perlindungan Edge pada tahun 2014. Selama kampanye militer yang menargetkan Jalur Gaza, lebih dari 2.200 warga Palestina terbunuh, termasuk lebih dari 500 anak-anak. Serangan tersebut juga menghancurkan infrastruktur utama di Gaza, termasuk rumah sakit dan sekolah, sehingga memperburuk krisis kemanusiaan yang telah berlangsung lama di wilayah tersebut.

Tindakan kekerasan Israel terus berlanjut sebagai respons terhadap protes Palestina di perbatasan Gaza pada tahun 2018. Selama protes “Great March of Return”, pasukan Israel menembak dan membunuh lebih dari 200 pengunjuk rasa Palestina, termasuk anak-anak, dokter, dan jurnalis. Ribuan lainnya terluka. Selain itu, pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah pendudukan Palestina, khususnya di Tepi Barat, terus berlanjut, dengan lebih dari 600.000 pemukim Yahudi saat ini tinggal di lebih dari 200 pemukiman. Pemukiman ini tidak hanya ilegal menurut hukum internasional, namun juga sering berujung pada penggusuran paksa dan penyitaan tanah Palestina.

Tembok pemisah yang dibangun Israel di Tepi Barat memperburuk situasi dengan membatasi pergerakan warga Palestina, memutus akses mereka terhadap lahan pertanian, lapangan kerja, dan layanan medis. Pada tahun 2004, Mahkamah Internasional menyatakan pembangunan tembok itu ilegal, namun Israel tetap melanjutkan pembangunannya, dan tidak menunjukkan niat untuk menghormati keputusan internasional.

Sejak tahun 2007, Israel juga memberlakukan blokade ketat terhadap Jalur Gaza, membatasi impor barang dan membatasi pergerakan orang. Blokade tersebut telah menciptakan krisis kemanusiaan yang parah, dengan lebih dari dua juta warga Gaza hidup tanpa makanan, air bersih, dan layanan kesehatan yang memadai. Memang benar, serangan terus-menerus yang dilakukan Israel selama 10 bulan terakhir telah merenggut nyawa hampir 40.000 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan melukai lebih dari 92.000 lainnya.

Di Tepi Barat, ribuan pos pemeriksaan terus membatasi kebebasan bergerak warga Palestina, sehingga mempengaruhi akses mereka terhadap pekerjaan, pendidikan dan layanan kesehatan. Pembatasan ini seringkali disertai dengan penghinaan dan pelecehan terhadap warga Palestina.

Harapan untuk solusi dua negara

Pemisahan bilateral, yang mengusulkan pembentukan negara Palestina merdeka bersama Israel, telah lama dianggap sebagai solusi paling adil dan berkelanjutan untuk mengakhiri konflik.

Namun, ada beberapa kendala yang menghalangi tercapainya solusi ini. Pembangunan pemukiman yang terus berlanjut di Tepi Barat melemahkan prospek negara Palestina yang berkelanjutan. Kegagalan kedua belah pihak mencapai kesepakatan, ditambah dengan perpecahan kepemimpinan Palestina antara Fatah dan Hamas, telah mempersulit upaya negosiasi.

Namun, upaya diplomasi internasional belum sepenuhnya terhenti. Pada Juli 2024, Tiongkok berhasil mempertemukan 14 faksi Palestina dalam pertemuan di Beijing, yang berujung pada Deklarasi Beijing. Deklarasi ini merupakan langkah menuju rekonsiliasi dan persatuan nasional Palestina, serta menegaskan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai satu-satunya perwakilan sah rakyat Palestina. Pertemuan tersebut juga menyepakati pembentukan pemerintahan sementara untuk membangun kembali Gaza pasca konflik, serta berkomitmen untuk mendirikan negara Palestina merdeka dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya, sesuai dengan resolusi PBB.

Pernyataan Beijing juga disambut baik oleh banyak negara, termasuk Indonesia, yang terus mendukung hak-hak Palestina. Putusan Mahkamah Internasional (ICJ) pada Juli 2024 – meski tidak mengikat – menyatakan bahwa Israel tidak memiliki hak kedaulatan atas wilayah pendudukan dan tindakan Israel melanggar hukum internasional yang melarang pendudukan wilayah tersebut dengan melarang kekerasan.

Keputusan ICJ ini mendapat dukungan luas dari komunitas internasional, dengan beberapa negara seperti Australia, Brazil, Norwegia dan Spanyol meningkatkan dukungannya terhadap Palestina. Bahkan, sejumlah negara baru seperti Irlandia dan Slovenia telah resmi mengakui kedaulatan Palestina, menambah daftar panjang negara pendukung perjuangan rakyat Palestina.

Tanda-Tanda Runtuhnya Israel

Di tengah meningkatnya tekanan internasional, tanda-tanda kematian Israel sebagai negara Zionis semakin jelas terlihat. Ilan Pappe, seorang sejarawan dan aktivis sosialis Israel, dalam sebuah esai yang diterbitkan pada Juni 2024, mengidentifikasi enam tanda yang menunjukkan runtuhnya Zionisme, fondasi berdirinya Israel. Salah satu tanda utamanya adalah perpecahan dalam masyarakat Yahudi Israel sendiri, yang kini terbagi menjadi dua kelompok utama: “Kelompok Negara Israel” yang lebih sekuler dan liberal, dan “Kelompok Negara Israel dan lebih religius” yang konservatif.

Perpecahan ini diperburuk oleh krisis ekonomi Israel, dengan perekonomian negara tersebut menyusut hampir 20% pada kuartal terakhir tahun lalu. Ketergantungan Israel pada dukungan keuangan AS semakin memperburuk situasi, sementara konflik internal antara kelompok pro-“Negara Israel” dan “Negara Yahudi” semakin memaksa para elit untuk memindahkan ibu kota ke luar negeri.

Isolasi internasional Israel juga semakin meluas, dengan banyak negara mulai menerapkan sanksi ekonomi terhadap Israel. Sikap yang lebih besar dari generasi muda Yahudi di seluruh dunia, yang kini semakin menjauh dari Zionisme dan menuju gerakan solidaritas Palestina, juga merupakan ancaman serius bagi kelangsungan Negara Israel. Hilangnya dukungan terhadap lobi Israel di tingkat global menunjukkan perubahan signifikan dalam dinamika politik global.

Tentara Israel, meski masih kuat, kini menghadapi tantangan besar. Keterbatasan militer Israel terungkap dalam serangan 7 Oktober 2023 yang menunjukkan ketergantungan Israel pada aliansi regional yang dipimpin Amerika Serikat. Di sisi lain, semangat juang generasi muda Palestina semakin kuat, mereka semakin terorganisir dan mempunyai visi yang jelas tentang masa depan Palestina.

Menurut Ilan Pappe, solusi permasalahan ini bukan sekedar perdamaian, melainkan dekolonisasi, sebuah langkah yang memerlukan perubahan mendasar dalam struktur politik dan sosial di kawasan. Generasi muda Palestina saat ini berada di garis depan dalam menyusun proposal untuk Palestina pasca-kolonial dan non-Zionis, dengan harapan dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan merata.

Konflik Israel-Palestina masih menjadi salah satu konflik paling kompleks dan paling berdarah dalam sejarah modern. Meskipun solusi dua negara seringkali dianggap sebagai solusi terbaik, namun realisasinya masih jauh dari kenyataan.

Pada akhirnya, solusi dua negara hanya bisa menjadi kenyataan jika kedua belah pihak bersedia berkompromi dan memprioritaskan kepentingan bersama di atas kepentingan individu.

Meski jalan menuju perdamaian masih panjang dan penuh rintangan, komitmen untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan harus tetap menjadi tujuan utama semua pihak yang terlibat dalam konflik ini.

Pengarang: Achmad Zaenal M

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours