Penyelarasan rencana pembangunan nasional-daerah menuju Indonesia Emas

Estimated read time 5 min read

Jakarta (ANTARA) – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak sudah dekat. Pada tanggal 27 November, jutaan pemilih dari 37 negara bagian dan 508 kabupaten/kota akan memberikan suara mereka untuk memilih sosok pemimpin daerahnya selama lima tahun ke depan.

Calon pemimpin daerah yang ikut serta dalam pilkada sekaligus perlu mengidentifikasi isu-isu kunci pembangunan. Setidaknya dalam hal rencana pembangunan dan peraturan keuangan pusat dan daerah setelah perubahan dilakukan.

Memahami permasalahan ekonomi di kawasan merupakan hal yang penting bagi para pemimpin daerah yang baru terpilih. Berbagai perubahan di tingkat nasional juga harus direncanakan karena akan berdampak pada tingkat regional.

Persoalan mendasar pertama yang dibahas dalam artikel ini adalah Rencana Pembangunan Berkelanjutan Nasional (RPJPN) 2025-2045 akan tetap ada dan menggantikan rencana lama. Namun hingga berakhirnya masa jabatan kedua Presiden Joko Widodo, RPJPN tersebut belum disetujui.

Untuk mewujudkan impian Tahun Emas 2045 yang ingin dicapai dalam 20 tahun mendatang, koordinasi rencana pembangunan nasional dan daerah sangat penting.

Kepemimpinan nasional baru akan terbentuk, di tingkat nasional presiden dan wakil presiden akan dilantik pada Oktober 2024. Sementara itu, pemimpin daerah baru akan mulai menjabat – pada awal tahun 2025.

Mengingat akan dilaksanakannya pilkada dalam waktu dekat, para calon kepala daerah yang akan bersaing tentunya akan kesulitan mempersiapkan visi dan misinya jika ingin menetapkan diri dalam RPJPN. Hal ini memungkinkan mereka memilih untuk mengandalkan hal lain sebagai tujuan utama kemandirian mereka.

Padahal, RPJPN merupakan sebutan untuk RPJPD agar para pemimpin negara dan daerah mempunyai kepemimpinan dalam mengelola pembangunan. Harus ada koherensi dalam program pembangunan di semua tingkatan. Tanpa kata-kata tersebut, mustahil visi dan tanggung jawab yang diberikan calon pemimpin daerah dapat menyenangkan masyarakat dan diakui.

Namun, kelemahan terlihat jelas di banyak bidang. Di situs resmi sejumlah pemerintah daerah, seperti Gubernur Jember, muncul informasi bahwa Proyek Pengelolaan Daerah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Tahun 2025-2045 untuk Daerah Jember telah disetujui oleh pemerintah daerah dan kepala daerah eksekutif Kabupaten Jember dan legislatif pada malam Kamis 04 Juli 2024. (https://www.jemberkab.go.id/rpjpd-kabupaten-jember-2025-2045 -resmi-disahan/)

Menurut Prof. Ibinu Maryanto, anggota panel ahli Plan 45, hal ini mengejutkan karena seharusnya perencanaan daerah mengacu pada perencanaan nasional.

Persoalan lain yang juga harus dinantikan calon kuat daerah adalah situasi perekonomian di daerahnya. Berbagai perubahan direncanakan dan dilaksanakan sehubungan dengan pajak, biaya, dll.

Dalam Forum Group Discussion (FGD) dengan topik “Penguatan Otonomi Daerah Melalui Pilkada” di Doho, Jember, Jawa Timur beberapa waktu lalu, salah satu peserta mengatakan bahwa perubahan pendapatan di kota akan dipahami sebagian besar masyarakat Jawa. Beberapa kota akan mengalami peningkatan pendapatan seperti Jember, namun di sisi lain, banyak wilayah di sekitarnya yang mungkin mengalami penurunan.

Hal ini terjadi karena adanya perubahan aturan pembagian pajak kendaraan bermotor. Awalnya pemerintah provinsi mendapat 60 persen dan pemerintah daerah dan kota mendapat sisanya. Undang-undang baru menentukan sebaliknya, sehingga pemerintah kota dan kabupaten mendapat 60 persen.

Hal-hal ini sungguh membuat perbedaan besar. Berdasarkan undang-undang lama, pemerintah provinsi menerapkan prinsip kesetaraan dalam bentuk insentif keuangan. Namun, dengan peraturan baru ini, banyak sektor mungkin mengalami penurunan pendapatan karena jumlah kendaraan yang lebih sedikit. Pada saat yang sama, kota dan wilayah dengan lalu lintas tinggi dapat memperoleh manfaat dari peraturan keuangan baru ini.

Penerapan prinsip keadilan dapat diartikan sebagai bentuk kerjasama antar lembaga. Tapi sekarang tidak ada daerah yang trafiknya rendah, APBD-nya bisa berkurang, sebaliknya daerah dan kota yang trafiknya tinggi akan diuntungkan, kata Widarto, anggota terpilih PDI Perjuangan. anggota DPRD periode 2024-2029.

Komposisi keringanan pajak yang baru bukan satu-satunya faktor yang menentukan tingkat pendapatan suatu daerah. Masih banyak variabel lain yang juga harus dicermati yang akan menentukan pendapatan daerah dan kota. Penting untuk mempertimbangkan kemungkinan perubahan akibat penerapan Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Undang-undang ini mengatur tingkat hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara lain: 1) menyediakan sumber pendapatan daerah berupa pajak dan bea masuk; 2) pengurus daerah/TKD; 3) pengelolaan dana daerah; 4) memberi kewenangan pendanaan daerah; dan 5) koordinasi pelaksanaan kebijakan fiskal nasional.

Saat ini, salah satu metrik yang paling banyak dibicarakan adalah persentase penggunaan total anggaran (SILPA). Jika persentasenya tinggi maka kinerja pemerintah daerah dinilai buruk.

SILPA terjadi karena terdapat perbedaan pendapatan operasional dan anggaran pada periode ke-1 (satu). Tentu sulit jika hal ini terjadi, apalagi di banyak daerah.

Pada dasarnya tata kelola yang baik merupakan penghubung antara perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Namun kenyataannya tidak selalu demikian karena ada berbagai faktor yang perlu diatasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Menurut Widarto, sisa anggaran harus tersedia agar pemerintah dapat beroperasi secara efisien pada periode anggaran berikutnya.

Hal ini dapat dimaklumi karena keuangan daerah sangat bergantung pada keberhasilan transfer pemerintah pusat. Selama satu tahun terjadi masa transisi dimana APBD provinsi tidak menerima uang untuk keperluan normal, khususnya gaji pegawai pemerintah.

Dana SILPA dapat digunakan untuk memajukan gaji. Pengeluaran seperti ini biasanya terjadi pada bulan Januari dan Februari saat memasuki tahun anggaran baru.

Di wilayah Provinsi Jawa Timur, hanya sedikit kota dan pemerintahan yang bisa mandiri karena PAD-nya besar, seperti kota Surabaya dan Bojonegoro.

Silpa di Bojonegoro pernah mencapai 30%. Hal ini tentu berlebihan meskipun ada kemajuan yang dicapai dalam hal kebutuhan pokok, termasuk gaji PNS dan anggota DPRD. Penurunan SILPA bisa saja terjadi jika besarannya diterima dengan baik oleh pemerintah pusat.

Sengaja membiarkan SILPA tinggi karena pengeluaran DAU dan DAK baru terealisasi pada pertengahan tahun anggaran. Implementasi rencana pembangunan seringkali dimulai setelah bulan Agustus atau sekitar akhir tahun anggaran. Oleh karena itu, peraturan keuangan harus direvisi agar DAU dan DAK berkurang di awal tahun.

Namun tentunya para calon utama daerah dan anggota DPRD harus mengkaji permasalahan keuangan daerah. UU HKPD 2022 akan mengatur kembali situasi perpajakan dan kepabeanan di daerah.

Saat ini undang-undang resmi tersebut masih dalam tahap transisi dan penerapan bertahap di Indonesia.

Undang-undang ini bertujuan untuk meningkatkan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dengan fokus pada pengurangan ketimpangan vertikal dan horizontal, penyederhanaan pajak dan bea daerah, serta peningkatan kualitas belanja daerah.

*) Donny Iswandono adalah aktivis masyarakat sipil Going 45

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours