Kemerdekaan dan kesejahteraan rakyat paripurna

Estimated read time 7 min read

Jakarta (ANTARA) – Dalam pidato besarnya saat lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945, Bung Karno memberikan analogi yang baik saat menyatakan kemerdekaan (Indonesia) adalah jembatan emas menuju bangsa yang sukses.

Merupakan tantangan bagi pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden (terpilih) Prabov Subjant – Đibran, untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang sesungguhnya, sebagaimana pesan Bapak Bangsa.

Setidaknya ada tiga indikator besar kesehatan masyarakat, yaitu makanan (bau), tempat tinggal (perumahan yang baik) dan sandang (pakaian).

Namun, jika kita dapat menekannya, maka makanan dan tempat tinggal akan sangat dibutuhkan, sementara pakaian dapat ditoleransi setidaknya untuk sementara.

Sebenarnya ada hal lain yaitu kesempatan mendapatkan pendidikan dengan mudah bagi anak-anak yang membutuhkan, karena pendidikan adalah hal terpenting di masa depan agar anak-anak tersebut bisa keluar dari kemiskinan.

Namun perlu diingat juga bahwa agar anak-anak dari keluarga miskin dapat bersekolah dengan baik, mereka harus mendapat makanan yang baik dan tinggal di rumah yang layak.

Memang menjadi tantangan bagi pemerintahan ke depan untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera secara utuh atau umum.

Kemiskinan ekstrim

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari separuh perekonomian negara (57,04 persen) disumbangkan oleh Pulau Jawa, disusul Pulau Sumatera dan penyumbang terbesar kedua, yaitu 22,08 persen.

Pada semester I tahun ini, pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa sebesar 4,92 persen, sedangkan Sumatera sebesar 4,48 persen pada periode yang sama.

Lebih dari tiga perempat perekonomian Indonesia disumbang oleh pertumbuhan ekonomi kedua pulau tersebut.

Padahal, pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu berdampak positif terhadap tingkat kemiskinan. Perbedaan spasial tingkat pertumbuhan ekonomi antar provinsi dan antar pulau memberikan indikasi adanya kesenjangan ekonomi nasional.

Pertumbuhan ekonomi pada semester I tahun ini mencapai 5,08 persen. Pada saat yang sama, kesuksesan melampaui pertumbuhan sebelum COVID-19. Pertumbuhan pada semester I tahun 2019 tercatat sebesar 5,06 persen.

Pada saat yang sama, angka kemiskinan di negara ini perlahan menurun, setidaknya sejak Maret 2021 hingga Maret 2024. Angka kemiskinan pada Maret 2024 yang mencapai 9,03 persen juga lebih rendah dibandingkan sebelum epidemi yang mencapai 9,41 persen (sebagai bulan Maret 2019).

Belum tercapainya tujuan pemerintahan Joko Widodo untuk mengentaskan kemiskinan, hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan selanjutnya.

Dalam program kerjanya, presiden baru terpilih Prabovo Subjanto menargetkan angka kemiskinan turun menjadi 6 persen pada tahun 2029, dan kemiskinan ekstrem berakhir pada tahun 2026.

Jika pemerintah saat ini menargetkan angka kemiskinan ekstrim sebesar nol persen pada tahun 2024, maka pemerintahan Prabovo-Gibran menundanya hampir dua tahun.

Untuk mengurangi kemiskinan sebesar 3 persen dalam lima tahun, dari 9 persen (2024) menjadi 6 persen pada tahun 2029, pemerintah berikutnya perlu membuat kemajuan.

Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan lebih banyak pekerjaan, setidaknya untuk mempertahankan anggaran yang sangat besar.

Anggaran “jumbo” ini merupakan kelanjutan dari program-program yang sudah populer di kalangan masyarakat rentan, seperti bantuan langsung tunai (BLT), bantuan sosial, dan Program Keluarga Harapan (PHH). Program ini terbukti memberikan dampak signifikan dalam menurunkan angka kemiskinan.

Ada dua program kebijakan lain yang bisa diberikan kepada pemerintah selanjutnya untuk mengentaskan kemiskinan.

Yang pertama adalah meluncurkan program peningkatan pendapatan dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, program pengurangan jumlah kantong kemiskinan.

Kedua program strategis ini merupakan upaya penting pengentasan kemiskinan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintahan Prabovo-Gibran.

Jika kedua program ini berhasil dilaksanakan oleh pemerintahan berikutnya, maka masyarakat miskin akan memiliki kekuatan mandiri untuk keluar dari kemiskinan.

Hal ini berbeda dengan program-program yang sudah berjalan yaitu menurunkan tingkat kemiskinan karena adanya bantuan pemerintah, sehingga besar kemungkinan untuk kembali miskin jika tidak ada bantuan.

Kedua program kebijakan yang dimaksud bertepatan dengan program pangan bergizi gratis, sedangkan pemerintah selanjutnya akan memberdayakan petani dan produsen pangan lokal.

Dengan cara ini, program pangan gratis dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, dibandingkan hanya mengandalkan perusahaan besar untuk menjamin keuntungan.

Pemerintah selanjutnya bisa memberikan insentif yang lebih produktif kepada masyarakat.

Misalnya memberikan insentif cara bekerja bagi pengusaha kecil dan kecil dalam bentuk pinjaman tanpa bunga (soft loan), sehingga roda perekonomian bergerak dan memberikan dampak yang kuat terhadap perekonomian negara.

Dari sisi kondisi makro, pemerintahan Prabov telah menetapkan tujuan besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen pada tahun kedua dan ketiga kepemimpinannya, sehingga perlu ditinjau ulang kebijakan kenaikan PPN (pajak nilai tambah) pada tahun ini. kondisi permintaan yang lesu dan rendahnya daya beli masyarakat.

Perlu ada kajian yang komprehensif, mengingat daya beli masyarakat semakin menurun.

Ketahanan pangan

Kelangkaan pasokan beras saat ini dapat dijadikan dorongan untuk mengembangkan beragam sumber pangan karbohidrat lokal.

Sumber karbohidrat lainnya adalah singkong, jagung, kentang, sorgum, talas, kentang, sukun, dan pisang. Semua tanaman tersebut relatif mudah tumbuh dan dibudidayakan di negeri ini.

Masalah terbesarnya adalah budaya, masyarakat Indonesia kecanduan nasi, mereka minum nasi tiga kali sehari.

Padahal keragaman sumber karbohidrat juga penting bagi tubuh manusia. Mengandalkan asupan karbohidrat hanya dari satu sumber dalam jangka waktu lama dapat memicu risiko terkena sejumlah penyakit, salah satunya diabetes.

Selama beras terus mempertahankan hegemoni konsumsi karbohidrat manusia, komoditas ini akan mengalami kekacauan harga. Selain itu, data menunjukkan bahwa produksi beras di negara ini telah diperluas untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat.

Melihat apa yang disampaikan mengenai ancaman terhadap ketahanan pangan dan kecukupan gizi, maka saat ini adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan sumber daya pangan yang tersedia di dalam negeri.

Salah satu keanekaragaman hayati yang dimaksud adalah sagu yang selama ratusan tahun telah menjadi sumber pangan penduduk di wilayah tersebut dengan menunjang gizi yang baik.

Peristiwa yang terjadi belakangan ini nampaknya bisa dijadikan momentum untuk mencermati sumber daya pangan masing-masing daerah.

Perlu adanya edukasi dan sosialisasi agar masyarakat aktif mengonsumsi makanan sehat yang disediakan oleh keanekaragaman tumbuhan Indonesia, seperti sayuran berdaun hijau, sagu, aneka umbi-umbian, kacang-kacangan, dan daging hewan buruan segar.

Khususnya bagi generasi baru, perlu adanya upaya peningkatan kecukupan gizi dalam hal penguatan mutu pendidikan, agar mampu bersaing dengan pelajar atau generasi muda dari negara lain.

Untuk itu diperlukan nutrisi yang tepat dan pola makan yang seimbang. Keinginan menghilangkan tengkei, memanfaatkan peluang bonus demografi dan menjadi negara maju pada tahun 2045 harus dimulai dari penerapan pangan bergizi.

Beras tidak boleh dipaksa menjadi satu-satunya produk yang dapat memenuhi kebutuhan karbohidrat dalam negeri, karena hal tersebut akan sulit dicapai seperti yang kita lihat saat ini.

Seiring dengan keanekaragaman sumber daya alam negara tersebut, terdapat banyak sumber karbohidrat (kecuali beras), serta sumber protein, vitamin dan mineral. Pengembangan bahan pangan non beras harus dimulai dari aspek agronomi, pengolahan dan hilirisasi, distribusi, produksi.

Selain itu, terkait program penyediaan bangunan tempat tinggal bagi kelompok masyarakat rentan, sebenarnya rencana penerapan kawasan pemukiman sudah terlihat sejak rezim Orde Baru.

Selama beberapa dekade, program sektor perumahan belum membuahkan hasil yang menggembirakan.

Program penanggulangan kekurangan perumahan yang dicanangkan Pemerintah telah gagal memenuhi hak dasar atas perumahan. Permasalahan terbesar kekurangan perumahan dari dulu hingga saat ini berkaitan dengan dua hal, yaitu pendanaan dan pasokan.

Kelompok rentan semakin sulit mendapatkan perumahan yang terjangkau. Diakui, ketersediaan papan yang nyaman dan sehat akan menunjang masyarakat yang berkualitas, khususnya bagi anak-anak yang masih bersekolah, sehingga proses belajar di rumah menjadi mudah.

Kita berharap, program penyediaan 3 juta rumah per tahun yang dijanjikan pemerintah Prabovo-Gibran ini dibarengi dengan langkah-langkah perubahan, sehingga suatu saat bisa terealisasi.

Salah satunya adalah pembentukan atau rekonstruksi Kementerian Perumahan Rakyat pada kabinet mendatang.

Janji penyediaan 3 juta rumah tersebut terdiri dari satu juta rumah di pedesaan, satu juta rumah di perkotaan, dan satu juta rumah di pesisir pantai.

Kehadiran Kementerian Perumahan Rakyat diharapkan dapat mengkoordinasikan kementerian/lembaga terkait, untuk berkomitmen menyediakan perumahan kepada masyarakat melalui penyediaan dan pembiayaan.

Program penyediaan 3 juta unit rumah per tahun memerlukan dukungan sumber daya keuangan bersama, untuk mendukung skema pembiayaan perumahan dan perolehan unit rumah, termasuk penyediaan rumah sewa murah.

Cara lain yang bisa ditempuh pemerintah ke depan adalah dengan menyediakan rumah sewa bagi masyarakat miskin.

*) Penulis adalah dosen di UCIC, Cirebon.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours